Selasa, 22 Juni 2010

Penyakit Rongga Mulut

Severe Necrotizing Stomatitis dan Osteomyelitis Setelah Kemoterapi Leukemia Akut

Fa Santos,*MT Pochapski, GL Pilatti,* VA Kzlowzki Jr, * FAJ Goiris, * FC Groppo

ABSTRAK

Latar Belakang

Leukemia adalah suatu neoplasma maligna yang dikarakterestikkan dengan proliferasi klonal dari sel-sel darah putih dalam sumsum tulang. Meskipun meningkatnya jumlah sel darah putih, leukosit leukemia tidak berfungsi. Manifestasi oral yang timbul pada pasien-pasien leukemia mungkin berhubungan pada efek langsung dan tidak langsung dari kemoterapi imunosupresi.

Metode

Laporan kasus ini menggambarkan necrotizing stomatitis dan osteomiolitis pada maksila dan mandibula yang parah pada seorang pasien wanita muda setelah kemoterapi leukemia akut. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan pasien mengalami gangguan gizi dengan kulit pucat, limfaneditis servikal, berulang kali demam dan sakit menyeluruh,. Pemeriksaan klinis intraoral ditemukan adanya halitosis, ulser multiple, stomatitis nekrosis dan osteomielitis yang berlokasi pada regio maksila dan mandibula. Stomatitis nekrosis dan osteomilelitis dirawat dengan pembuangan tanpa trauma dari jaringan yang nekrosis. Pasien menerima suatu protocol pencegahan harian yang terdiri atas perawatan oral hygiene, termasuk penyikatan dua kali tiap harinya, dan pembersihan mulut dengan suatu larutan khlorheksidin. Pasien dirawat dengan metronidazole dan amoksisilin secara sistemik selama 21 hari.

Hasil:

Selama rangkaian manajemen kondisi mulut pasien meningkat dengan beberapa re-epitelisasi tercatat. Meskipun, menyisahkan destruksi parah tulang alveolar yang jelas. 32 bulan setelah kehadiran dari gejala-gejala awal, pasien meninggal karena komplikasi-komplikasi yang berhubungan pada rekurensi leukemia (hemoragi, sepsis dan respiratory distress syndrome)

Kesimpulan:

Dental monitoring selama perawatan kanker penting sekali pada perawatan untuk menekankan kepentingan dari control plak gigi dan pertahanan dari kondisi kesehatan periodontal sepanjang perawatan medis.

Kata Kunci : Acute myeloid leukemia, kanker, oral ulcer, alveolar bone loss.

PENDAHULUAN

Leukemia adalah suatu neoplasma maligna yang karakteristikkan dengan proliferasi klonal dari sel-sel darah putih primitif dalam sumsum tulang. Meskipun suatu peningkatan jumlah sel darah putih, leukosit leukemia tidak berfungsi. Yang berakibat menurunnya fungsi sel darah putih, sel darah merah yang merespon terjadinya immunodefisiensi, anemia, dan trombositopenia, secara berturut-turut.

Leukemia dibagi lagi dalam bentuk kronis dan akut. Leukemia kronis secara relatif melibatkan diferensiasi leukosit yang baik, yang menimbulkan rangkaian serangan dan perjalanan yang lambat. Leukemia akut dikarakteristikkan dengan proliferasi yang tidak terkontrol dari sel-sel blast berdiferensiasi dengan jelek yang menunjukkan serangan cepat, agresif, dan menjadi fatal jika dibiarkan tidak dirawat. Manifestasi oral lebih umum pada leukemia akut.

Insiden dari leukemia di Negara amerika adalah 8 sampai 10 kasus baru per 100.000 orang tiap tahun, rata-rata berdistribusi antara bentuk akut dan kronis. Acute lymphoid leukemia (ALL) adalah yang paling sering ditemukan pada anak-anak, dimana acute myeloid leukemia (AML) adalah paling sering ditemukan pada orang dewasa. Pada populasi di Brasil. Diperkirakan insiden dari leukemia adalah 6,5 kasus baru per 100.000 0rang pada tahun 2008. di Australia, 1225 orang didiagnosa dengan AML pada tahun 2004. Seluruhnya, AML adalah suatu penyakit yang jarang yang dicatat 1,2 persen dari semua yang diagnosa kanker, pada rate 5,9 orang per 100.000 dari populasi.

Leukemia akut juga termanifestasi besar pada daerah kepala dan leher, dan penemuan oral mungkin memberikan diagnosa. Lesi-lesi oropharingeal adalah tanda awal pada 10 persen dari pasien leukemia akut. Trombositopenia menyebabkan ecchimosis labial dan lingual, mukosa petechiae, dan pendarahan gingival spontan. Kedua ulserasi dan pembengkakan ditemukan pada jaringan mukosa dan gingival adalah penemuan yang umum.

Komplikasi oral yang muncul pada pasien-pasien leukemia dapat dibagi dalam hubungannya pada penyakit maligna sendiri, dan hubungannya adalah efek langsung dan tidak langsung dari kemoterapi imunosupresif. Keparahan dan durasi stomatitis disebabkan oleh agen-agen kemoterapi telah ditunjukkan untuk dikorelasikan dengan sebelum keberadaan tingkat dari dental plak dan penyakit periodontal. Tindakan pencegahan seperti instruksi oral hygiene dan profilaksis dental mungkin mengurangi keparahan komplikasi-komplikasi oral.

Laporan kasus ini menggambarkan seorang pasien wanita muda yang ditunjukkan dengan necrotizing stomatitis parah dan tersebarluas pada maksila dan mandibula yang mengikuti perawatan kemoterapi leukemia akut.

GAMBARAN KASUS DAN HASIL

Seorang gadis berumur 15 tahun diserahkan pada bagian periodontologi (oktober 2004) dari Universitas Ponta Grossa state, Brazil, yang mengeluhkan malnutrisi, demam dan sakit gingival Karena necrotizing stomatitis parah. Pasien telah sedang menerima perawatan kemoterapi leukemia mieloblastik akut. Aturan pertahanan kemoterapi terdiri atas administrasi oral dari mercaptopurine, methotrexate dan prednisone selama 9 bulan sebelum pemberian.

Selama pemeriksaan klinis, pasien didapatkan pucat, gangguan gizi, dengan limfaneditis servikal dan gejala sakit umum. Pemeriksaan klinis intra-oral ditemukan adanya ulser, dengan nekrosis yang luas, dihubungkan dengan pseudomembran yang menutup tulang alveolar di beberapa tempat, berlokasi pada palatum keras, mukosa maksila dan mandibula, dan tulang. Pasien memiliki plak luas dan menyebar, pembukaan mulut yang terbatas dan halitosis. (gambar 1).

Profil hematologi selama fase kemoterapi pertahanan ditunjukkan pada table 1. jumlah darah lengkap dinyatakan menurunnya sedikit sel-sel darah putih dan sel-sel darah merah dengan kadar hemoglobin yang rendah dan jumlah platelet yang normal. Jumlah perbedaan leukosit termasuk 7% limfosit, 5% myeloblast, 6% metamyeloblas pada pemeriksaan pertama. Selama fase pertahanan, semua penemuan hematologi dalam nilai yang normal. Data laboratorium mengarahkan penyakit sistemik lain dan infeksi yang dapat menuju pada kondisi oral.


Gambar 1. Fotografi klinis kasus pada pemeriksaan pertama mulut. Catatan:

jaringan nekrosis parah di atas maksila dan mandibula

Stomatitis nekrosis dirawat secara lokal dengan pembuangan secara attraumatik dari jaringan nekrotik superficial menggunakan hydrogen peroksida 2%. Pasien menerima suatu instruksi pencegahan harian yang terdiri atas perawatan oral hygiene, yang termasuk menyikat gigi dua kali sehari yang dibimbing oleh orang tuanya dan membersihkan mulut dengan suatu larutan chlorheksidine non-alkohol 0,12%. Perawatan sistemik terdiri atas pemberian metronidazole (400 mg, 4 kali sehari secara oral) dan amoksisilin (500 mg, 4 kali sehari secara oral) untuk 12 hari.

Setelah itu, profilaksis oral dan instruksi oral hygiene diberikan. Sebagai tambahan, aplikasi topikal dari gel fluoride 1,23% diberikan 3 kali seminggu di klinik gigi dengan tanpa instrumentasi subgingiva periodontal. Selama perawatan, beberapa gigi hilang dan suatu splinting pada gigi incisivus bawah diberikan untuk alasan estetik. Pada perawatan untuk mempertinggi re-epitalisasi, nekrosis tulang dibuang secara parsial menggunakan tang rongeur dan bur round diamond dengan handpiece berkecepatan tinggi dengan irigasi air. Anestesi tidak diberikan pada prosedur ini (gambar 2).

Setelah 12 bulan (oktober 2005) perawatan, pemeriksaan radiografi menyatakan hilangnya tulang alveolar yang parah. Penemuan lainnya terdiri atas hilangnya lamina dura, trabekula tulang abnormal dan radiolusen sekitar gigi molar tiga yang tidak erupsi (gambar 3). 32 bulan setelah gejala pertama (September 2006), pasien meninggal karena komplikasi-komplikasi berhubungan rekurensi leukemia (hemoragi, sepsis dan respiratory distress syndrome)

DISKUSI

Agen kemoterapi digunakan untuk perawatan leukemia mungkin secara langsung atau secara tidak langsung menyebabkan stomatotoksis. Paling banyak obat sitotoksik adalah myelosupresi, yang meningkatkan kerentanan terhadap bakteri, jamur dan infeksi viral dari pasien yang sudah lemah. Obat-obat sitotoksik dan radiasi mungkin juga mengurangi jumlah neutrofil, yang menunjukkan opportunistik mikroba untuk menginfeksi lesi-lesi oral dengan mudah. Infeksi sekunder yang mungkin serius atau dengan konsekuensi yang rata-rata fatal. Ulserasi kemungkinan disebabkan oleh agen kemoterapi yang berhadapan dengan metabolisme folat (methorexate). Prednisone dan mercaptopurine, sebagai obat immunosupresif, mungkin meningkatkan kesempatan terjadinya infeksi.


Gambar 2: Perubahan penampilan gingival setelah perawatan kimia dan mekanik:

18 bulan setelah perawatan terus-menerus


Gambar 3: Radiografi panoramic yang menunjukkan hilangnya tulang periodontal yang

parah dari gigi premolar dan molar. Catatan: sequester tulang sekitar gigi

kaninus kanan bawah

Table 1. Penemuan Hematologi selama fase pertahanan

1 maret 2004 23 mei 2005 11 april 2006 Reference range

Sel darah merah 3,75x106/µL 3,65x106/µL 2,81x106//µ L 3,90-5,90 106//µ L

Hemoglobin 10,3g/dL 12,4g/dL 10,6g/dL 12-16g/dL

Volum Globuler 30,8% 36,9% 30,4% 35,6-48,6%

Rata-rata volum corpuscular 82,0 fL 101,1 fL 108,2 fL 82-92 fL

Rata-rata Hb corpuscular 27,5 pg 34,0 pg 37,7 pg 27-31 pg

Rata-rata konsentrasi Hb corpuskuler 33,4 g/dL 33,6 g/dL 34,9g/dL 32,9-36,0g/dL

Jumlah sel dearah putih 5,400/µL 3,900µ/L 3,500/µL 4,500-13,500/µL

Eosinofil 0% 0% 4% 1-4%

Basofil 2% 0% 0% 0-1%

Limfosit 7% 27% 29% 32-44%

Monosit 3% 3% 5% 4-8%

Myeloblast 5% 0% 0% 0%

Metamyeloblast 6% 0% 0% 0-1%

Rods 6% 1% 5% 3-6%

Segemen 71% 69% 57% 43-53%

Neutrofil 88% 70% 62% 46-60%

Platelet 16x104/µL 42,9x104 /µL 25,4x104 /µL 15-44x104/µL

Ada beberapa kelompok laporan dokumentasi dari ulserasi mukosa mulut dengan pencahayaan tulang yang mengikuti perawatan kemoterapi. Ketika pasien ini diserahkan ke klinik gigi, dia berada pada fase pertahanan perawatan dari leukemia akut. Selama pemeriksaan fisik, dia mengalami gangguan gizi, dengan limfaneditis servikal, dan melaporkan berulang kali demam dan sakit umum. Suatu plak luas yang menyebar, pembukaan mulut yang terbatas dan halitosis diamati. Pemeriksaan klinis intra-oral menunjukkan beberepa ulser, dengan peluasan nekrosis, berhubungan dengan pseudomembran yang menutupi tulang alveolar. Nekrosis jaringan superficial dan pseudomembran dibuang secara lembut dengan gauze dan hydrogen peroksida 2% pada masing-masing pengangkatan.. ini menunjukkan dengan baik bawah hydrogen peroksida dapat merusak DNA dengan pembentukan lanjut dari sepsis oksigen reaktif, khususnya radikal hydroksil ketika terdapat metal. Kemudian hydrogen peroksida dipilih untuk mengeliminasi mikroorganisme. Sebagai tambahan, tulang maksila dan mandibula dibersihkan secara lembut dengan debridemen.

Suatu variasi dari substansi kimia telah digunakan untuk pencegahan dan perawatan dari kemoterapi termasuk komplikasi oral. Contohnya chlorhexidine, povidone iodine dan larutan saline (NaCl 0,9%). Pembersih mulut chlorhexidine telah digunakan secara luas untuk maksud tersebut karena dikenal dengan baik aktivitas antimikrobanya sebagai suatu agen profilaktis topikal untuk melawan mukositis oral.

Pada laporan kasus kami, pasien dibersihkan dua kali sehari selama 1 menit dengan 10 ml chlorhexidine glukonat 0,12% untuk mengontrol pembentukan biofilm secara kimia selama semua fase perawatan. Pembersihan mulut dua kali sehari dengan suatu larutan chlorhexidine 0,12% telah ditunjukkan mengurangi komplikasi oral selama kemoterapi.

Keputusan untuk menggunakan metronidazole ditambahkan amoksisilin pada penyajian kasus didasarkan atas studi sebelumnya. Faktanya, kombinasi dari kedua antibiotik diharapkan memberikan antimikroba yang adekuat melawan gram negative bacilli dan spirochetes, yang dideteksi pada penyakit periodontal nekrosis.

Status kesehatan anak yang menjadi korban dari leukemia atau kanker lainnya secara umum kurang. Mereka sebaiknya dipertimbagkan sebagai pasien yang beresiko tinggi pada komplikasi oral, suatu situasi yang membutuhkan kedua tim pengobatan dan dental. Pada beberapa kasus, pasien menjalani kemoterapi sitotoksik menampakkan komplikasi oral selama dan setelah perawatan meskipun mengawasi oral hygiene dan pemeberian antimikroba konvensional. Meskipun, hubungan penyakit oral dan kemoterapi dapat dikurangi secara dramatis jika profilaksis oral diberikan pada hubungan dengan kemoterapi. Pada kasus ini, kondisi yang parah diobservasi kemungkinan karena suatu hubungan antara sistemik (agen kemoterapi dan gangguan gizi ) dan faktor lokal (oral hygiene rendah)

Selama perawatan kanker pasien butuh untuk dimonitor secara teliti oleh dokter gigi untuk menegaskan pentingnya kontrol plak dan pertahanan kondisi kesehatan periodontal keseluruhan perawatan pengobatan. Beberapa abnormalitas oral yang tidak diterangkan seperti stomatitis nekrosis atau destruksi periodontal yang cepat, sebagai pengamatan pada kasus ini, sebaiknya diserahkan segera pada tim dental untuk pendekatan perawatan yang adekuat. Peringatan khusus harus dipertimbangkan pada pasien dengan neutropenia, dan instrumentasi periodontal sebaiknya dihindari. Perawatan kanker utama harus mengetahui kepentingan dari perawatan kesehatan oral yang menjalani kemoterapi.

Penanganan Anaphilaxis

Protokol Penanganan Anaphilaksis
Robit Sharma, MDS, * Ramen Sinha, MDS,
P.S. Menon, MDS, FIBOMS, and Deepika Sirohi, MDS

Belum ada defenisi universal yang sesuai dari anaphilaxis atau kriteria untuk mengembangkan diagnosis, meskipun telah diketahui dalam bidang kedokteran emergensi lebih dari 100 tahun. Dua penemuan dirapatkan oleh Lembaga Jaringan Nasional Alergi dan Penyakit Infeksi dan Alergi Makanan dan Anaphilaksis pada april 2004 dan juli 2005. Representatif dari 16 organisiasi berbeda dan badan pemerintahan, yang termasuk representatif dari negara-negara berkembang, yang terus bekerja ke arah suatu defenisi yang diterima secara universal, kriteria diagnosis, dan penatalaksanaan anaphilaksis. Artikel ini menghadirkan konsep terakhir dari anaphilaksis di literatur yang termasuk penelitian yang dibutuhkan pada area ini.

Anaphilaxis digambarkan lebih dari 100 tahun yang lalu tetapi terus menerus menjadi salah satu kelainan yang paling mengkhawatirkan yang dihadapi di kedokteran, dengan belum ada kesesuaian atas defenisinya atau kriteria untuk diagnosis. Hal ini telah merintangi penelitian pada epidemiologinya, pathifisiologi, dan penatalaksanaan , dan pastinya membingungkan atas sebagian dari penanggap pertama, personil emergensi, pertolongan pertama, dan pasien, yang sama-sama menggagalkan diagnosa dan merawat anaphilaxis pada suatu cara yang konsisten. Pada suatu percobaan untuk kembali mengatasi masalah-masalah mengenai persoalan ini, artikel ini hadir dengan konsep baru dari defenisi dan penatalaksanaan anaphilaxis berdasarkan atas literatur terbaru pada bagian kedokteran emergensi.

DEFENISI
Istilah anaphilaxis diambil dari kata Greek a (against) dan philaxis (immunity, protection). Anaphilaxis adalah suatu immune-mediated tipe I, reaksi alerg sistemik parah yang mengancam hidup. Hal ini dimediasi oleh immunoglobin spesifik IgE, antigen menginduksi reaksi untuk allergen bervariasi yang menghasilkan degranulasi sel mast dan aktivasi basofil. Insiden anaphilaxis tidak diketahui tetapi diperkirakan terdapat 1:10.000 pada populasi luas per tahun dengan resiko yang meningkat pada wanita dari 3-10: 1
Reaksi anaphilactoid hadir dengan suatu gambaran klinis yang serupa yang melibatkan mediator-mediator yang sama tetapi tanpa keterlinbatan IgE. Variasi mekanisme yang bertanggung jawab adalah:
- Pembangkitan Kinin dengan aktivasi koagulasi atau fibrinolisis
- Aktivasi komplemen (seperti gelofusin)
- Modulasi metabolisme asam arakhidonik (eg. Aspirin)
- Meningkatnya histamin

ETIOLOGI
Reaksi Anaphilaxis (IgE) mungkin memiliki beberapa etiologi yang mengikuti:
- Makanan
- Obat-obatan
- Anastesi lokal yang terdiri dari methil-paraben
- Vaksin
- Bisa (venom)
- Ekstrak allergen
- Protein asing
- Parasit
- Getah
- Hormon, enzim
- Relaksan otot
- Gerak badan dan makanan pencetus

Reaksi Anaphilactoid (non-IgE) mungkin berasal dari beberapa hal yang mengikuti
- relaksan otot
- opoids
- media kontras radiologikal
- immunoglobulin
- aspirin dan obat-obat antiinflamasi non-steroid
- dextran dan gelatin

PATOFISIOLOGI
Ciri-ciri umum anaphilaxis adalah diawali oleh mekanisme imun (IGE) dan non-immun, dengan aktivasi sel-sel mast dan sirkulasi basofil dengan peningkatan pembentukan mediator-mediator. Pemaparan primer antigen menyebabkan sintesis antibodi spesifik IgE oleh limfosit dan sel-sel plasma. Bagian Fc dari antibodi ini mampu melekatkan dirinya masing-masing pada permukaan sel-sel plasma dan mensiklusikan basofil. Akibat pemaparan kembali dengan antigen menyebabkan IgE antibodi antigen saling mengikat menyilang dan memicu degranulasi. Pembentukan mediator-mediator seperti histamin, faktor kemotaksis, atau enzim disimpan pada granula sitoplasma meningkatkan respon pada perlekatan silang antigen-antibodi ini. Aksi ini dapat dikelompokkan dalam 3 kategori:
- Aktivator-aktivator inflamasi menginduksi vasodilatasi dan edema; misalnya: histamin, triptase dan bradikinin
- Spasmogen menyebabkan otot halus bronchil berkontraksi; termasuk histamin, prostaglandin D2 dan leukotrin (LTC4 dan LTD4). Prostaglandin D2 10 kali lebih potensi menyebabkan bronchokonstriktor dari pada histamin, dan LTD4 1.000 kali lebih berpotensi
- Faktor kemotaksis neutrofil dan eosinofil menarik sel-sel baru yang bervariasi pada area tersebut. Mereka meningkatkan mediator-mediator sekunder dari anphilaksis, seperti histamine-releasing factor, dan sejumlah enzim lisosom, yang menyebabkan inflamasi berlebihan dan destruksi sel. Degranulasi sel mast lebih lanjut diinduksi pada suatu siklus dari meningkatnya inflamasi dan meningkatnya permeabilitas jaringan, suatu kondisi sama pada sepsis sistemik.

TANDA TANDA KLINIS
Keberadaan mediator meningkat dengan suatu spektrum dari gejala-gejala klinis dan tanda-tanda dari bersin-bersin sampai jalan nafas yang mengancam hidup dan ancaman kardiovasekuler (anaphilaxis). Kelainan ini dapat berkembang melalui spektrum ini tanpa dua atau berkali-kali terpapar agen-agen pemicu.


1. Tanda-tanda pada Kulit
Gejala-gejala nyata mungkin termasuk pruritus, rash, dan perasaan geli pada tangan, kaki, dan aksila, ditemani dengan perasaan tenggelam karena hipotensi atau kurangnya darah perifer. Hal ini mungkin berkembang sampai urtikari atau angioedema atau edema periorbital.

2. Obstruksi Jalan nafas
Obstruksi jalan nafas dapat terjadi pada jalan nafas atas (akibat edema laring) dan jalan nafas bawah (akibat brokospasm dan edema pulmonary). Pasien mungkin hadir dengan stridor, hoarseness, perasaan fullness atau konstriksi throat, mendesah, batuk, sesak dada, dan pernafasan pendek.

3. Kolaps kardiovasekuler
Kolaps kardiovasekuler juga menyerang dengan cepat, dengan perasaan faintness dan rasa sakit pada retrosternal diikuti dengan syncope dikarenakan oleh vasodilatasi atau cardiac arritmia. Hipotensi disebabkan oleh kombinasi dari mediator yang menginduksi arrithmia, vasokonstriksi arteri koronary, menurunnya resistensi vaskuler sistemik, dan suatu hypovolemia relatif; dan di atas 50% volume sirkulasi dapat hilang dalam jaringan oleh meningkatnya secara mendadak permeabilitas jaringan. Infart myocardial juga telah dilaporkan.

4. Manifestasi Gastrointestinal
Anaphilaxis dapat menyebabkan kekejangan abdominal, mual, muntah yang banyak, dan diare. Durasi anaphilaxis dapat pendek, dua fase, atau dapat menjadi panjang sampai di atas 24 jam. Pada bifase terdapat pada 5% sampai 20% pasien, yang berkembang cepat mengancam hidup pada episode 8 sampai 12 jam setelah serangan pertama.




KRITERIA KLINIS UNTUK DIAGNOSA ANAPHILAXIS
Kemungkinan terjadinya anaphliaxis ketika satu dari 3 kriteria terpenuhi.
1. Serangan akut yang sakit (sekali sampai beberapa kali) tanpa keterlibatan kulit, jaringan mukosa, atau keduanya ( umumnya rasa gatal berbintik-bintik, pruritus atau flushing, bengkak pada bibir/lidah/uvula) dan sedikitnya diikuti:
a. Respiratory compromise ( dyspnea, wheezing, bronchospasme, stridor, berkurangnya aliran ekspirasi, hipoksemia)
b. Berkurangnya tekanan darah atau berhubungan gejala-gejala disfungsi organ (hipotoni, syncope, incontinence)
2. Dua atau lebih yang mengikuti terjadi secara cepat setelah terpapar alergen terhadap pasien (beberpa menit sampai beberapa jam):
a. Keterlibatan kulit/ jaringan mukosa (umumnya bintik-bintik merah, gatal-gatal/flush, pembengkakan bibir/lidah/uvula)
b. Respiratory compromise (dyspnea, wheezingbronchospasme, stridor, berkurangnya REF, hipoksemia)
c. Berkurangnya BP atau dihubungkan gejala-gejala (hipotonia, syncop, incontinence)
d. gejala-gejala gastrointestinal persisten ( memaksa, sakit perut, muntah)
3. Berkurangnya BP setelah terpapar alergen yang diketahui pada pasien (beberapa menit sampai beberapa jam)
a. Bayi dan anak-anak: BP sistolik rendah (umur spesifik) atau berkurang lebih besar dari 30% pada BP sistolik ( batas tekanan darah anak rendah jika kurang dari pada 70 mmHg dari 1 bulan sampai 1 tahun, kurang dari pada [ 70 mmhg + {2xumur}] dari 1 sampai 10 tahun, dan kurang dari pada 90 mmhg dari 11 sampai 17 tahun)
b. Dewasa: BP sistol kurang dari 90 mmHg atau berkurang lebih dari 30% dari batas normal seseorang.



Perbedaan diagnosis cardiac arritmia atau infarction, pulmonary embolisme, atau acute respiratory obstructionnkarena inhalasi dan serangan vasovagal.

PENATALAKSANAAN ANAPHILAXIS
Dasar dari bentuk alur basic life support terhadap penatalaksanaan awal anaphilaxis , dengan evaluasi cepat dan mempertahankan airway, breathing, dan circulation. Yang telah dirumuskan suatu diagnosis klinis dari anaphilaxis berdasarkan atas kehadiran dari beberapa 3 kriteria anaphilaxis di atas, pasien sebaiknya mendapatkan epinefrin secara seketika karena epineprin adalah perawatan pilihan pada anaphilaxis. Pada pasien dengan kriteria diagnosa klinis terkena dengan singkat anaphilaxis tetapi menghadirkan gejala-gejala, sebaiknya masih tetap diberikan terapi epinefrin, seperti pasien dengan riwayat mudah terjadi anaphilaxis fatal pada kacang-kacangan yang menelan kacang dan beberapa menit menampakkan adanya urtikaria dan flushing luas. Intervensi selanjutnya ditentukan atas dasar pelajaran klinis dan respon pada epinephrin . umumnya, partisipan pada The Second NationalIinstitute of Allergy and Infection Disease and Food Allergy and Anaphylacyic Network (NIAID/FAAN). Symposium anaphilaxis mendukung batas pendekatan terapeutik pada penerbitan petunjuk secara terbaru. Sebuah kesimpulan dari petunjuk ini disediakan di bawah, sepanjang dengan suatu diskusi yang lebih detail dari jalur rekomendasi dari epinephrin parentral, posisi selama perawatan anaphilaxis, dan pengaruh periode observasi setalah perawatan suatu episode anaphilaxis.

Epinephrin
Epinephrin adalah perawatan pilihan untuk anaphilaxis. Cairan epinephrin, 0,01 mg/kg (dosis maksimum, 0,5 mg) diberikan secara intramuskuler setiap 5 sampai 15 menit jika dibutuhkan, dosis yang direkomendaskan untuk mengontrol gejala dan mempertahankan tekanan darah. Interval 5 menit antara injeksi dapat diizinkan untuk membolehkan dilakukan injeksi dengan frekuensi lebih jika dianggap perlu oleh klinisi.

Antara Intramuskular dan subkutan epinephrin
Bermacam-macam studi dengan keterbatasan telah menunjukkan bioavailability epinephrin jika diberikan secara intramuskular dari pada secara subkutan. Jalur intravena telah direkomendasikan pada keadaan spesifik. Suatu penelitian pada anak-anak yang tidak memiliki pengalaman anaphilaxis mennunjukkan absobsi yang lebih cepat dan level epinephrin yang lebih tinggi pada plasma ketika epinephrin diberikan secara intramuskular pada bagian anterior-lateral paha dengan suatu autoinjektor ketika dibandingkan dengan nilai-nilai setelah pemberian secara subkutan. Dengan cara yang sama, pada orang dewasa tanpa pengalaman anaphilaxis, konsentrasi epinephrin dalam plasma sel dicapai lebih cepat dan lebih tinggi setelah diinjeksi epinephrin secara intramuskuler dalam paha dari pada setelah epinephrin diinjeksikan secara intramuskular atau subkutan dalam lengan atas (bahu). Hasil yang sama diperoleh dengan kedua ampul epinephrin atau dengan sebuah alat automatic epinephrin springladed (epipen, dey, napa, CA). Injeksi epinephrin secara intramuskuler dalam lengan atas atau secara subkutan diluar lengan atas tanpa hasil meningkatnya level epinephrin dalam plasma yang signifikan diluar level epineprin endogen. Hal ini sebaiknya dicatat bahwa penelitian dari jalur injeksi telah dilakukan pada pasien dengan pengalaman anaphilaxis. Atas dasar fakta-fakta ini, partisipan dari simposium NIAID/FAN menyimpulkan bahwa pemberian intramuskuler dari kemampuan injeksi epinephrin pada anterior-lateral paha lebih disukai injeksi subkutan. Walaupun dicatat dibawa, epinephrin intravena mungkin lebih disukai pada beberapa kasus jika garis intravena ditempatkan (selama bedah). Epinephrin intravena adalah suatu pilihan untuk pasien dengan hipotensi parah atau cardiac arrest yang tidak mampu merespon terhadap dosis intramuskular epinephrin dan resusitasi cairan. Meskipun tidak ada dosis tepat yang dikembangkankan atau cara untuk epinephrin intravena pada anaphilaxis, dosis 5 sampai 10 mg bolus intravena (0,2 mg) untuk hipotensi dan telah dianjurkan 0,1 sampai 0,5 mg diberikan secara intravena jika terdapat kolaps kardiovasekuler. Sebuah pusat percobaan tunggal terbaru ini menggambarkan keberhasilan penanganan awal dengan infus epinephrin intravena untuk anaphilaxis dengan hipotensi, yang menganjurkan bahwa hal ini mungkin menjadi suatu strategi yang dapat diteruskan. Prosedur yang terperinci untuk persiapan dan pelaksanaan dari infuse epinephrin telah dipublikasikan. Hal ini penting untuk diketahui potensi terjadinya arritmia letal ketika pemberian epinephrin intravena, dan selanjutnya direkomendasikan untuk monitoring jantung . Infus epinephrin dosis rendah yang terus menerus mungkin menunjukkan bentuk yang sangat aman dan paling efektif dari pemberian secara intravena karena dosisnya dapat ditentukan kadarnya sesuai efek yang diinginkan dan dapat menghindari potensi terjadinya kecelakaan dari bolis epinephrin yang luas. Oksigen dan agen adregenik (high-flow oxigen melalui suatu non- rebreather mask atau endotracheal tube) sebaiknya diberikan pada pasien-pasien dengan pengalaman gejala-gejala yang berhubungan dengan pernapasan atau hipoksemia. Dalam hal dengan hemodinamical yang tidak stabil mungkin dengan oksigen bermanfaat. Dengan B2-agonist inhalasi, seperti albuterol, mungkin berguna untuk bronchospasme yang sulit disembuhkan dengan epinephrin.

Posisi Pasien
Pasien dengan anaphilaxis shock (dengan anaphilaxis dan tanda-tanda hipoperfusi organ kritis) sebaiknya ditempatkan pada suatu posisi berbaring dengan ekstrimitas yang lebih rendah diangkat kecuali jika mengahalangi oleh pernapasan yang pendek atau muntah-muntah. Ini direkomendasikan berdasarkan atas bukti-bukti bahwa dengan mengangkat kaki pasif dapat meningkatkan volume stroke dan cardiac output dengan pergeseran udara secara terpusat pada pasien-pasien shock. Selanjutnya, observasi dari korban shock anaphilaxis fatal menganjurkan bahwa perubahan postural, seperti perubahan pada sebuah posisi yang lebih tegak atau dicegah dari posisi supinasi, mungkin telah mengkonstribusikan akibat yang fatal.

Resusitasi Fluid
Resusitasi cairan yang agresif direkomendasikan untuk pasien-pasien yang tetap hipotensi meskipun dengan epinephrin. Luas volume crystalloid mungkin dibutuhkan di 5 menit pertama sampai menit ke 10 pada reaksi yang parah dengan hipotensi, sampai di atas 35% volume darah mungkin extravasate pada 10 menit pertama, dan vasodilatasi dapat menyebabkan genangan, dengan akibat bertambahnya pengurangan volume darah yang efektif dan kemudian terjadinya shock. Volume cairan digantikan harus disesuaikan pada situasi klinis. Hipotensi yang persistensi membutuhkan suatu pendekatan yang lebih agresif dengan bolus cairan multipel (10 sampai 20 ml/kg di bawah tekanan), termasuk koloid sebaik crystaloid, mengingat, suatu reaksi pernapasan secara luas atau satu respon yang segera untuk perawatan awal membutuhkan penenganan cairan kurang agresif.

Vasopressor
Vasopressor poten seperti noradrenalin, vasopressin, atau metaraminol mungkin dibutuhkan untuk vasodilatasi yang berlebihan jika epinephrin dan resusitasi cairan telah gagal untuk mempertahankan tekanan darah sistolik yang lebih besar dari 90% mmHg. Laporan kasus terakhir ini dan penelitian pada binatang telah merekomendasikan bahwa vasopressin digunakan sepenuhnya ketika perawatan hemoraghe dan shock septik. Efek vasopressin atas anaphilaxis sistemik belum diteliti kecuali laporan kasus klinis. Vasopressin meningkatkan tekanan darah karena vasokonstriksi melalui reseptor V-1.

Antihistamin
Antihistamin (antagonis H1 dan H2) memiliki aksi lebih lambat dari pada epinephrin, memiliki efek kecil terhadap tekanan darah, dan sebaiknya dipertimbangkan sebagai perawan kedua untuk anaphilaxis. Antihistamin digunakan penuh untuk perawatan gejala urtikaria/ angioedema dan pruritus. Dypenhidramine, diberikan secara intravena atau intramuskuler (atau secara oral untuk gejala-gejala yang sedang), dapat diberikan 25 sampai 50 mg untuk dewasa dan 1 mg/kg (di atas 50 mg) untuk anak-anak. Perawatan dengan kombinasi antagonis Hi dan H2 telah dilaporkan lebih efektif pada pengurangan manifestasi kutaneus dari anaphilaxis dari pada perawatan dengan antagonis H1 sendiri. Ranitidine dan cimetidine telah sering diselidiki, tetapi tidak penelitian kontrol telah memberitahukan keunggulan dari salah satu antagonis H2 atas yang lainnya.

Kortikosteroid
Keefektifan kortioksteroid pada anaphilaxis belum pernah ditentukan pada percobaan placebo-kontrol. Walaupun, kegunaan kortikosteroid untuk penyakit alergi lain telah pasti untuk penggabungannya dalam penanganan anaphilaxis. Karena serangan aksinya lambat, steroid tidak digunakan penuh pada penanganan tingkat akut. Hal ini telah dianjurkan bahwa penggunaannya mungkin mencegah suatu pemanjangan atau biphasic reaksi, walaupun tidak ada bukti untuk membuktikannya. Jika diberikan, dosis kortikosteroid intravena sebaiknya sama dengan 1 sampai 2 mg/kg per dosis methilprodnisolon setiap 6 jam. Pemberian oral prednisone, 1mg/kg sampai 50 mg mungkin cukup untuk serangan yang sedang.

Glukagon untuk hipotensi persisten pada pasien pengguna B-Bloker
Walaupun belum ada penelitian epidemiologi yang memberitahukan meningkatnya frekuensi anaphilaxis pada pasien yang menerima B-Bloker, terdapat banyak laporan kasus dari meningkatnya keparahan atau refractory anaphilaxis pada beberapa pasien. Secara teori, terdapat mekanisme tersendiri oleh B-Blokade dapat mengurangi respon pada epinephrin. Jika pemberian epinephrin pada pasien tidak efektif, pemberian glukagon dapat dicobakan. Glukagon sedikit mengembalikan hipotensi refractory dan bronchospasme dengan aktivasi adenylate cyclase independen dari B-reseptor dan walaupun, kejadian dan pentingnya mekanisme ini dari aksi anaphilaxis belum dapat dibuktikan. Dosis yang direkomendasikan untuk glukagon adalah 1 sampai 5 mg (20 sampai 30 mg/kg [dosis maksimum, 1 mg] pada anak-anak) diberikan secara intravena selama 5 menit dan diikuti dengan infus (5 sampai 15 mg/menit) dengan kadar yang ditetapkan untuk respon klinis. Proteksi jalan nafas harus dijamin karena pemberian glukagon berkali-kali menyebabkan emesis.

OBSERVASI
Setelah perawatan reaksi anaphilaxis, semua pasien perlu untuk diobservasi karena reaksi mungkin timbul lagi sebagai efek pemakaian epinephrin (akibat epinephrin intramuskuler pada peningkatan level serum untuk 1 jam atau lebih) dan karena resiko dari suatu reaksi biphasic. Kejadian reaksi biphasic telah dikembangkan pada literatur dam muncul 1 % sampai 20% dari reaksi anaphlixis (tabel 1). Pada suatu penelitian yang ,mengevaluasi pasien dengan reaksi makanan yang fatal atau mendekati fatal, kira-kira 20% dari pasien dfengan penglaman suatu reaksi biphasic, yang menunjukkan bahwa reaksi biphasic kemungkinan besar terjadi pada pasien-pasien yang secara awal menunjukkan gejala-gejala yang parah. Interval waktu yang dilaporkan anatara reaksi awal dan serangan fase kedua berkisar dari 1 sampai 72 jam. Sayangnya, tidak ada prediktor klinis yang telah diidentifikasi untuk memungkinkan identifikasi pasien-pasien dengan resiko yang meningkat untuk suatu reaksi biphasic, walaupun beberapa penelitian telah menganjurkan bahwa pasien yang membutuhkan dosis epinephrin lebih tinggi untuk mengontrol gejala-gejala awal atau menunda pemberian epinephrin munkin meningkatkan resiko terjadinya reaksi biphasic. Secara umum, sistem organ sama terlibat pada reaksi pertama dan kedua. Berdasarkan atas bukti-bukti data, partisipan yang menghadiri simposium NIAID/FAAN merekomendasikan bahwa periode observasi dibedakan dengan yang lain berdarkan atas keparahan reaksi awal, hal yang dapat dipercaya dari pasien, dan akses untuk merawat. Lamanya waktu yang pantas untuk mempertimbangkan observasi pasien post anaphilaxis adalah 4 sampai 6 jam pada kebanyaka pasien, dengan waktu observasi yang panjang atau adanya izin dari rumah sakit untuk pasien-pasien dengan gejala-gejala parah atau susah disembuhkan. Beberapa peringatan sebaiknya digunakan pada pasien-pasien dengan penyakit reaktif jalan nafas karena kebanyakan terjadi kefatalan berhubungan dengan anaphilaxis yang terjadi pada pasien ini. Pemeriksaan dan penanganan pasien dengan pengalaman keterpaparan anaphilaxis yang mungkin ditemukan pada keadaan non-medis sebaiknya dilakukan injeksi epinephrin sendiri yang digunakan jika anaphilaxis berkembang. Berdasarkan catatan di atas, tidak ada defenisi umum yang dapat diterima tentang anaphilaxis. Maka, kriteria klinis diatas mungkin dapat membantu secara penuh untuk menentukannya yang sebaiknya dituliskan resep injeksi epinephrin. Hingga terdapat kriteria yang secara umum dapat diterima untuk diagnosa anaphilaxis, indikasi untuk peresepan epinephrin injeksi sendiri akan terus dipermasalahkan. Sekarang ini , belum ada persetujuan umum bahwa pasien yang dengan pengalaman gejala-gejala pernapasan dan kardiovasekuler setelah terpapar pada suatu alergen yang diketahui pada masyarakat sebaiknya menerima injeksi epinephrin tersendiri. Di luar persetujuan umum ini, hal ini belum jelas yang sebaiknya diberikan sebuah resep untuk bisa diinjeksi epnephrin. Walaupun, keterbatasan peresepan injeksi epinephrin untuk kriteria ini pada pasien-pasien dengan alergi kacang-kacangan atau bijia-bijian, sebaagai contoh, akan gagalnya untuk melindungi sampai 80% dari pasien dengan pengalaman suatu reaksi anaphilaxis yang fatal. Pasien yang diresepkan injekksi epinephrin sendiri sebaiknya telah merencanakan tindakan emergensi yang terperinci menggunakan egen ini dan penanganan follow-up. Kerumitan dari peresepan injeksi epinephrin sendiri dan penyediaan rencana tindakan emergensi telah digambarkan oleh Sicherer dan Simons., dan pilihan etika telah didiskusikan oleh Hu dkk. Sebelum pemberhentian dari fasilitas emergensi, semua pasien dengan pengalaman suatu reaksi anaphilaxis sebaiknya menerima informais tentang bagaiamana untuk menghindari dengan cepat alergen (jika diketahui). Persoalan lainnya untuk mempertimbangkan yang termasuk penyiagaan pasien tentang organisasi nasional yang menyediakan informasi penting dan bahan-bahan pendidikan (Food Allergy and Anaphilaxis Network, http://www.foodallegy.org), sebaik dinasehati untuk memperoleh saran follow-up dengan suatu alergi dan untuk memberitahukan perawatan fisik primer mereka. Sekarang ini, 3 tahap ini (peresepan injeksi epinephrin, edukasi pasien, evaluasi follow-up) jarang dilakukan di North American Emergency Departement. Karena departemen emergensi adalah keadaan perawatan untuk sebagian besar pengunjung anaphilaxis. Gambaran ini suatu kesempatan penting dan masih belum dipergunakan untuk meningkatkan perawatan pasien.

INVESTIGASI
Pemeriksaan dilakukan ketika pasien telah distabilkan. Tryptase sel mast adalah protein utama yang ditingkatkan oleh degranulasi sel-sel mast pada anaphilaxis dan reaksi anaphilactoid. Tingkat konsentrasi basal triptase adalah 0,8 sampai ng/ml. Separuh hidup kira-kira 2,5 jam. Kira-kira 99% dari enzim total tubuh terlokasi pada sel mast. Tryptase tidak terdapat pada basofil, sehingga konsentrasi tidak dipengaruhi oleh hemolisis. Segera mungkin setelah resusitasi, 10 ml dari bekuan darah terkumpul dan sekali lagi pada 1 jam dan pada 6 jam. Serum dipisahkan dan ditempatkan pada suhu 40C jika sampel dianalisis dalam waktu 48 jam atau ditempatkan pada suhu 200C untuk analisis yang lambat. Tingkat tryptase lebih besar dari pada 15 ng/mL menunjukkan suatu reaksi anaphilaxis.
Komplemen sebaiknya diukur ketika darah terkumpul, dari suatu sampel gel ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA) untuk menunjukkan tanda komsumsi komplemen.




FOLLOW-UP DAN PROGNOSIS
Ahli bedah/ dokter yang memberikan obat mampu merespon untuk jaminan bahwa reaksi dilaporkan. Pasien sebaiknya ditunjukkan ke immunologis untuk kemudian melakukan skin test. Pasien sebaiknya diberikan penjelasan penuh dan sebuah rekaman sebaiknya dibuat pada buku pembayaran pasien atau kartu kesehatan. Pasien sebaiknya diberikan sebuah rekaman tertulis dari reaksi. Penyembuhan kembali dari anaphilaxis biasanya cepat dan komplit. Lama masa sequelae cepat dan akibat dari kerusakan car5diac dan neurogical terjadi selama periode pertama.

PENELITIAN
Kesepakatan umum atas persoalan yang berhubungan pada anaphilxis telah dihalangi oleh kriteria diagnostik yang kuran diterima, tidak tanda-tanda biologi laboratorium yang dapat diterima, beberapa kelompok penelitian atas insiden dan akibat anaphilaxis di populasi yang bervariasi, bentuk efektif dari terapi, identifikasi pasien dengan resiko anaphilaxis yang dapat mengancan hidup, dan penjelasan dari dasar imunologi dan mekanisme patogenesis dapat merespon untuk variable pelajaran pada anphilaxis pada individu yang berbeda. Sebuah penelitian prospektif multisenter kriteria diagnosis anaphilaxis dikemukakkan disini untuk menentukan apakah kriteria ini menmbolehkan klinisi dan pemeriksa untuk mengidentifikasi pasien secara memadai dengan anaphialxis tanpa memperhatikan penyebabnya. Diumpamakan bahwa kriteria ini membuktikan untuk menjadi sensitif dan spesifik untuk diagnosa anaphilaxis, penelitian menentukan insiden, penyebab, tanda-tanda klinis , penyebab alami, dan akibat anaphilaxis diperlukan untuk mempersiapkan klinisi dengan bukti-bukti berdasarkan tanda-tanda dari kelainan ini yang akan memungkinkan pencegahan yang lebih efektif dan intervensi perawatan. Percobaan klinis dapat difasilitasi oleh bentuk dari suatu konsortium anaphilaxis. Hal ini dipercaya bahwa pengukuran mediator-mediator yang berasal dari mast sel, seperti histamin dan tryptase, akan menyediakan bukti-bukti dari reaksi anaphilaxis. Walaupun, pada rangkaian dari 97 pasien yang hadir pada suatu departemen emergensi dan terdiagnosa anaphilaxis, Cuma 42% ditemukan pada peningkatan level histamin plasma, dan 21% diputuskan mengalami peningkatan level triptase plasma. Satu penelitian kecil menjelaskan bahwa perkiraan berkala tingkat plasma tryptase mungkin meningkatkan sensifitas (36% sampai 73%). Sensitifitas dan spesifitas tanda biologi dari anaphilaxis dan pengembangan anaphilaxis diperlukan yang akan membuktikan keberadaan dari kelainan ketika cukupnya informasi riwayat tidak tersedia atau ketika gejala-gejalanya tidak khas. Pendekatan proteomic yang terbaru, pendekatan metabolisme, atau keduanya mungkin menjamin digunakan secara penuh pada identifikasi tanda-tanda biologi yang relevan. Pengukjian Biomarker dapat digunakan secara penuh untuk menentukan diagnosa ketika pada keragu-raguan, yang dapat menjadi penting dengan maksud untuk follow-up. Jika tersedia pada sisi lain, pengujian ini rata-rata dapat membantu pada identifikasi pasien yang beresiko persisten dan fase reaksi yang tertunda. Walaupun, diberikan emergensi dan fulminant alami dari kelainan ini, seperti pendekatan yang tidak mungkin digunakan secara penuh untuk pemanduan intervensi resusitasi dengan segera. Percobaan laboratorium dapat difasilitasi dengan bentuk suatu registrasi anaphilaxis dengan menutup kerjasama antara perbedaan utama dan menguraikan bidang ilmu. Sebagai garis luar dari simposium yang disebutkan sebelumnya, paling banyak reaksi anphilaxis disebabkan oleh reaksi hipersensitif yang mediasi oleh IgE akibat dari cross-lingking dari alergen spesifik molekul IgE diatas permukaan jaringan sel-sel mast dan mungkin basofil. Walaupun, mekanisme ini sendiri tidak menjelaskan keparahan dari manifestasi alergi, variasi respon organ target sejumlah individu atau dalam individu yang sama, perbedaan permulaan allergen perlu untuk membuktikan respon anphilaxis, variabel respon pada terapi, induksi biphasic atau memanjangya reaksi anphilaxis, atau akibat akhir dari reaksi. Penelitian baru-baru ini, pengenalan epitope dari alergen IgE mungkin memainkan suatu peran pada keparahan respon alergi. Tetapi ini menunjukkan suatu fraksi variabel-variabel yang potensi terjadi anatara waktu masuknya alergen pada tubuh dan hasil akhir dari suatu reaksi anaphilaxis. Sebagai contoh, ini mungkin menjadi informasi untuk melakukan genomic dan penelitian fungsional dari polimorfis atau tambahan fungsi mutasi pada mediator yang bervariasi, sitokin, dan reseptor chemokine dan kelompok reseptor dan elemen-elemen dari jalur signal intraseluler dan atau dari faktor lain yang mungkin mempengaruhi aktivasi atau fungsi sel-sel efektor dari anaphilaxis atau respon dari sel-sel struktural pada organ target yang terserang di kelainan ini. Sebagai tambahan, penyelidikan dibutuhkan dalam mekanisme pathophisiologi dan perawatan yang tepat dari reaksi-reaksi yang memenuhi daftar kriteria diagnostik untuk anaphilaxis tetapi yang tidak melibatkan sebuah mekanisme IgE, secara umum menunjukkan pada sebuah anaphilactoid atau reaksi pseudoallergic. Selanjutnya, penelitian telah menunjukkan suatu peran untuk sistem saraf yang menimbulkan gejala-gejala kompleks dari anaphilaxis. Dan ini adalah suatu area yang menjamin penyelidikan lebih lanjut. Yang dikarakteristikkan dengan baik dengan binatang yang secara jelas memudahkan usaha untuk mengerti dasar mekanisme patofisiologi yang terjadi selama anaphilaxis dan untuk menentukan interaksi antara beberapa tipe sel yang bervariasi; untuk menguraikan efek dari mediator, sitokin, dan kemotaksis yang berhubungan selama respon anaphilaxis dan untuk menggambarkan strategi terapeutik yang lebih baik. Baru-baru ini, model binatang yang muncul menjadi refleksi dari anafliaxis pada subjek manusia telah dikembangkan pada tikus, anjing, babi, tetapi model yang lebih baik diperlukan. Selama simposium NIAID/ FAAN dan pada parameter pelatihan yang diterbitkan baru-baru ini atas anaphilaxis, strategi terapoetik untuk penanganan anaphilaxis ditentukan secara luas atas dasar pengalaman klinis. Pada kenyataannnya terdapat suatu kebutuhan utama untuk mengevaluasi terapeutik paling sesuai untuk mengukur dan medikasi untuk perawatan anaphilaxis. Meskipun hampir semua para ahli setuju bahwa epinephrin obat pilihan untuk perawatan anaphilaxis akut, dengan data yang terbatas atas dosis yang sesuai, waktu pemilihan, jalan pemberian, frekuensi atau pemberian. Anthistamin H1 dan H2, corticosteroid, atau keduanya secara umumdigunakan pada perawatan anaphilaxis, tetapi hampir tidak ada data tersedia yang yang memberitahukan peran fungsional atau efektivitas agen ini. Percobaan kontrol prospectif untuk mengembangkan pemberian dosis yang sesuai dari medikasi ini dan peran dari intervensi terapeutik lain, seperti tipe optimal dan pemberian kembali cairan, dan penggunaan vasopresson, glukagon, nebulized albuterol atau epinephrin, leukotrin inhibitor, dan antagonis sitokin (anti-tumor necrosis factor) juga dijamin. Secara idela, ukuran terapeutik dapat dipelajari pada model binatang yang sesuai sebelum memulai percobaan klinis, sebelum beberapa penelitian klinis diselenggaraka, secara klinis penggunaan nilai skor keparahan dan hasil pengukuran alat-alat perlu untuk divalidasi. Juga terdapat sesuatu yang dibutuhkan untuk hasil penelitian pada pasien dengan karakteristik yang baik. informasi kecil yang tersedia atas keuntungkgan dan resiko atau penyediaan autoinjektor epinephrin, antihistamin, kortikosteroid, dan penulisan instruksi pengobatan pada pasien dengan alergi makanan dan sengitan serangga dan pemberi perawatan mereka (orang tua dan sekolah, perawatan harian, dan personil restoran ) dan personil emergensi pertama. Penelitian masa panjang, ketaatan pemberian follow-up, reaksi berikutnya, dan kualitas hidup dari pasien dengan pengalaman reaksi anaphilaxis yang juga berkurang. Sebagai hasil data yang tersedia, evaluasi rata-rata efektivitas dari penyebaran informasi tentang pencegahan dan penatalaksanaan anaphilaxis pada pasien, perawatan awal, perespon pertama, dan personil departemen emergensi sebaiknya membantu mengurangi perbedaan yang hebat pada pandangan terhadap pendekatan perawatan di United State dan sekitar dunia. Sejumlah penelitian dari sekitar dunia mengusulkan bahwa reaksi anaphilaxis secara umum terjadi di dalam dan diluar lingkungan rumah sakit. Pada keterangan dari peningkatan secara luas pada IgE- tergantung kelainan alergi pada negara berkembang beberapa dekade yang lalu, terdapat sesuatu yang penting untuk mengerti dengan baik dasar immunologi dan patofisiologi anaphilaxis dan untuk mengoptimalkan terapi atas dasar percobaan klinis yang terkontrol dengan baik. kemudian, karakteristik tanda-tanda klinis dan penemuan tanda-tanda biologi yang akan mengidentifikasi pasien dengan resiko anphilaxis atau biphasic atau memanjangnya keparahan reaksi sebaiknya meningkatkan secara lebih baik perawatan pada pasien ini, menurunnya pasien dan kecemasan keluarga, dan berkurangnya resiko dari hasil yang tidak menguntungkan. Penerimaan secar luas dai kriteria klinis spesifik untuk mengidentifikasi anaphilaxis, dengan maksud ini, akan memfasilitasi dan mempercepat penelitian pada area kriteria ini.









1.1. Latar Belakang
Abses merupakan suatu penyakit infeksi yang ditandai oleh adanya lubang yang berisi nanah (pus) dalam jaringan yang sakit. Dental abses artinya abses yang terbentuk didalam jaringan periapikal atau periodontal karena infeksi gigi atau perluasan dari ganggren pulpa. Abses yang terbentuk merusak jaringan periapikal, tulang alveolus, tulang rahang terus menembus kulit pipi dan membentuk fistel. (Abses subkutan Odontogenik). (1)
Abses gigi terjadi ketika terinfeksi bakteri dan menyebar ke rongga mulut atau dalam gigi, Penyebabnya adalah bakteri yang merupakan flora normal dalam mulut. Yaitu bakteri coccus aerob gram positif, coccus anaerob gram positif dan batang
anaerob gram negatif. Bakteri terdapat dalam plak yang berisi sisa makanan dan
kombinasi dengan air liur. Bakteri-gakteri tersebut dapat menyebabkan karies
dentis, gingivitis, dan periodontitis. Jika mencapai jaringan yang lebih dalam
melalui nekrosis pulpa dan pocket periodontal dalam, maka akan terjadi infeksi odontogen. (1)
Abses dental ini terjadi akibat adanya faktor iritasi seperti plak, kalkulus, karies dentin, invasi bakteri (Staphylococcus aureus, Streptococcus, Haemophilis
influenzae), impaksi makanan atau trauma jaringan. Keadaan ini dapat
menyebabkan kerusakan tulang alveolar sehingga terjadi gigi goyang. (1)
Terjadinya abses terutama yang telah menyebar ke jaringan sekitarnya, misalnya yang telah berpenetrasi ke subkutan (abses subkutan) tentunya sangat memberi pengaruh yang sangat fatal untuk anak, tidak hanya terhadap keadaan umum anak tetapi juga perkembangan dari rahang dan gigi-geliginya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Abses subkutan odontogenik sebenarnya adalah komplikasi daripada karies
gigi. Bisa juga disebabkan oleh trauma gigi (misalnya apabila gigi patah atau hancur). Email yang terbuka menyebabkan masuknya bakteri yang akan menginfeksi bagian pulpa gigi. Infeksi ini menjalar hingga ke akar gigi dan tulang yang
mendukung gigi. (1)
Infeksi menyebabkan terjadinya pengumpulan nanah (terdiri dari jaringan tubuh yang mati, bakteri yang telah mati atau masih hidup dan sel darah putih) dan
pembengkakan jaringan dalam gigi. Ini menyebabkan sakit gigi. Jika
struktur akar gigi mati, sakit gigi mungkin hilang, tetapi infeksi ini akan meluas terus
menerus sehingga mejalar kejaringan yang lain. (1)
2.1. Etiologi Abses Odontogenik
Paling sedikit ada 400 kelompok bakteri yang berbeda secara morfologi dan biochemical yang berada dalam rongga mulut dan gigi. Kekomplesan flora rongga mulut dan gigi dapat menjelaskan etiologi spesifik dari beberapa tipe terjadinya infeksi gigi dan infeksi dalam rongga mulut, tetapi lebih banyak disebabkan oleh adanya gabungan antara bakteri gram positif yang aerob dan anaerob. Dalam cairan gingival, kira-kira ada 1.8 x 1011 anaerobs/gram. Pada umumnya infeksi odontogen secara inisial dihasilkan dari pembentukan plak gigi. Sekali bakteri patologik ditentukan, mereka dapat menyebabkan terjadinya komplikasi lokal dan menyebar/meluas seperti terjadinya bacterial endokarditis, infeksi ortopedik, infeksi pulmoner, infeksi sinus kavernosus, septicaemia, sinusitis, infeksi mediastinal dan abses otak. (3)
Infeksi odontogen biasanya disebabkan oleh bakteri endogen. Lebih dari setengah kasus infeksi odontogen yang ditemukan (sekitar 60 %) disebabkan oleh bakteri anaerob. Organisme penyebab infeksi odontogen yang sering ditemukan pada pemeriksaan kultur adalah alpha-hemolytic Streptococcus, Peptostreptococcus, Peptococcus, Eubacterium, Bacteroides (Prevotella) melaninogenicus, and Fusobacterium. Bakteri aerob sendiri jarang menyebabkan infeksi odontogen (hanya sekitar 5 %). Bila infeksi odontogen disebabkan bakteri aerob, biasanya organisme penyebabnya adalah species Streptococcus. Infeksi odontogen banyak juga yang disebabkan oleh infeksi campuran bakteri aerob dan anaerob yaitu sekitar 35 %. Pada infeksi campuran ini biasanya ditemukan 5-10 organisme pada pemeriksaan kultur. (3)
2.2. Patofisiologis Abses Subkutan Odontogenik
Abses periapikal dan abses periodontal mempunyai cara berbeda yang ditempuh oleh bakteri untuk menginfeksi gigi, Bagaimanapun, abses periapikal jauh lebih sering dibandingkan dengan abses periodontal. (1)
Abses periapikal
Ketika suatu abses periapikal terjadi, bakteri menginfeksi gigi
akibat karies dentin (lubang kecil, disebabkan oleh kerusakan jaringan gigi)
yang terbentuk dari lapisan keras bagian luar gigi (email). Karies dental memecahkan email dan lapisan jaringan lunak di lapisan
bawah (tulang gigi), dan dengan cepat mencapai pulpa, yang
dikenal sebagai pulpitis. Selanjutnya bakteri menginfeksi pulpa sampai mencapai
tulang gigi (tulang alveolar), sebagaimana bentuk dari abses periapikal. (1)
Infeksi gigi merupakan suatu hal yang sangat mengganggu, infeksi biasanya dimulai dari permukaan gigi yaitu adanya karies gigi yang sudah mendekati ruang pulpa, kemudian akan berlanjut menjadi pulpitis dan akhirnya akan terjadi kematian pulpa gigi (nekrosis pulpa). Infeksi gigi dapat terjadi secara lokal atau meluas secara cepat. Adanya gigi yang nekrosis menyebabkan bakteri bisa menembus masuk ruang pulpa sampai apeks gigi. Foramen apikalis dentis pada pulpa tidak bisa mendrainase pulpa yang terinfeksi. Selanjutnya proses infeksi tersebut menyebar progresif ke ruangan atau jaringan lain yang dekat dengan struktur gigi yang nekrosis tersebut. (3)
Penjalaran infeksi odontogen akibat dari gigi yang nekrosis dapat menyebabkan abses, abses ini dibagi dua yaitu penjalaran tidak berat (yang memberikan prognosis baik) dan penjalaran berat (yang memberikan prognosis tidak baik, di sini terjadi penjalaran hebat yang apabila tidak cepat ditolong akan menyebabkan kematian). Adapun yang termasuk penjalaran tidak berat adalah serous periostitis, abses sub periosteal, abses sub mukosa, abses sub gingiva, dan abses sub palatal, sedangkan yang termasuk penjalaran yang berat antara lain abses perimandibular, osteomielitis, dan phlegmon dasar mulut. (3)
Abses Periodontal
Abses Periodontal terjadi ketika bakteri menginfeksi gusi,
menyebabkan penyakit gusi (yang dikenal sebagai periodontitis). Periodontitis
menyebabkan radang di dalam gusi, yang dapat membuat jaringan yang
mengelilingi akar gigi (ligamen periodontal) terpisah dari dasar tulang
gigi. Perpisahan ini menciptakan suatu celah kecil yang dikenal sebagai
suatu poket periodontal, yang sulit untuk dibersihkan, dan menyebabkan
bakteri masuk dan menyebar. Abses Periodontal dibentuk
oleh bakteri dalam poket periodontal. Abses Periodontal selalu terjadi akibat hasil dari: (3,8)
1. Penanganan gigi yang menciptakan poket periodontal secara kebetulan,
2. Penggunaan antibiotik yang tidak diperlakukan untuk periodontitis, yang dapat menyembunyikan suatu abses, dan
3. Kerusakan pada gusi, walaupun tidak terdapat periodontitis.
Penyebaran infeksi dari fokus primer ke tempat lain dapat berlangsung melalui beberapa cara, yaitu transmisi melalui sirkulasi darah (hematogen), transmisi melalui aliran limfatik (limfogen), perluasan langsung infeksi dalam jaringan (2)
1. Transmisi melalui sirkulasi darah (hematogen)
Gingiva, gigi, tulang penyangga, dan stroma jaringan lunak di sekitarnya merupakan area yang kaya dengan suplai darah. Hal ini meningkatkan kemungkinan masuknya organisme dan toksin dari daerah yang terinfeksi ke dalam sirkulasi darah. Di lain pihak, infeksi dan inflamasi juga akan semakin meningkatkan aliran darah yang selanjutnya menyebabkan semakin banyaknya organisme dan toksin masuk ke dalam pembuluh darah. Vena-vena yang berasal dari rongga mulut dan sekitarnya mengalir ke pleksus vena pterigoid yang menghubungkan sinus kavernosus dengan pleksus vena faringeal dan vena maksilaris interna melalui vena emisaria. Karena perubahan tekanan dan edema menyebabkan penyempitan pembuluh vena dan karena vena pada daerah ini tidak berkatup, maka aliran darah di dalamnya dapat berlangsung dua arah, memungkinkan penyebaran infeksi langsung dari fokus di dalam mulut ke kepala atau faring sebelum tubuh mampu membentuk respon perlawanan terhadap infeksi tersebut. Material septik (infektif) yang mengalir melalui vena jugularis internal dan eksternal dan kemudian ke jantung dapat membuat sedikit kerusakan. Namun, saat berada di dalam darah, organisme yang mampu bertahan dapat menyerang organ manapun yang kurang resisten akibat faktor-faktor predisposisi tertentu.
2. Transmisi melalui aliran limfatik (limfogen)
Seperti halnya suplai darah, gingiva dan jaringan lunak pada mulut kaya dengan aliran limfatik, sehingga infeksi pada rongga mulut dapat dengan mudah menjalar ke kelenjar limfe regional. Pada rahang bawah, terdapat anastomosis pembuluh darah dari kedua sisi melalui pembuluh limfe bibir. Akan tetapi anastomosis tersebut tidak ditemukan pada rahang bawah. Kelenjar getah bening regional yang terkena adalah sebagai berikut: Banyaknya hubungan antara berbagai kelenjar getah bening memfasilitasi penyebaran infeksi sepanjang rute ini dan infeksi dapat mengenai kepala atau leher atau melalui duktus torasikus dan vena subklavia ke bagian tubuh lainnya.
3. Perluasan langsung infeksi dalam jaringan
Perluasan langsung infeksi dapat terjadi melalui penjalaran material septik atau organisme ke dalam tulang atau sepanjang bidang fasial dan jaringan penyambung di daerah yang paling rentan. Tipe terakhir tersebut merupakan selulitis sejati, di mana pus terakumulasi di jaringan dan merusak jaringan ikat longgar, membentuk ruang (spaces), menghasilkan tekanan, dan meluas terus hingga terhenti oleh barier anatomik. Ruang tersebut bukanlah ruang anatomik, tetapi merupakan ruang potensial yang normalnya teriis oleh jaringan ikat longgar. Ketika terjadi infeksi, jaringan alveolar hancur, membentuk ruang sejati, dan menyebabkan infeksi berpenetrasi sepanjang bidang tersebut, karena fasia yang meliputi ruang tersebut relatif padat.
Perluasan langsung infeksi terjadi melalui tiga cara, yaitu:
Perluasan di dalam tulang tanpa pointing
Area yang terkena terbatas hanya di dalam tulang, menyebabkan osteomyelitis. Kondisi ini terjadi pada rahang atas atau yang lebih sering pada rahang bawah. Di rahang atas, letak yang saling berdekatan antara sinus maksila dan dasar hidung menyebabkan mudahnya ketelibatan mereka dalam penyebaran infeksi melalui tulang.
Perluasan di dalam tulang dengan pointing
Ini merupakan tipe infeksi yang serupa dengan tipe di atas, tetapi perluasan tidak terlokalisis melainkan melewati tulang menuju jaringan lunak dan kemudian membentuk abses. Di rahang atas proses ini membentuk abses bukal, palatal, atau infraorbital. Selanjutnya, abses infraorbital dapat mengenai mata dan menyebabkan edema di mata. Di rahag bawah, pointing dari infeksi menyebabkan abses bukal. Apabila pointing terarah menuju lingual, dasar mulut dapat ikut terlibat atau pusa terdorong ke posterior sehingga membentuk abses retromolar atau peritonsilar.
Perluasan sepanjang bidang fasial
Menurut HJ Burman, fasia memegang peranan penting karena fungsinya yang membungkus berbagai otot, kelenjar, pembuluh darah, dan saraf, serta karena adanya ruang interfasial yang terisi oleh jaringan ikat longgar, sehingga infeksi dapat menurun. Di bawah ini adalah beberapa fasia dan area yang penting, sesuai dengan klasifikasi dari Burman:
• Lapisan superfisial dari fasia servikal profunda
• Regio submandibula
• Ruang (space) sublingual
• Ruang submaksila
• Ruang parafaringeal
Penting untuk diingat bahwa kepala, leher, dan mediastinum dihubungkan oleh fasia, sehingga infeksi dari kepala dapat menyebar hingga ke dada. Infeksi menyebar sepanjang bidang fasia karena mereka resisten dan meliputi pus di area ini. Pada regio infraorbita, edema dapat sampai mendekati mata. Tipe penyebaran ini paling sering melibatkan rahang bawah karena lokasinya yang berdekatan dengan fasia.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan penyebaran dan kegawatan infeksi odontogenik adalah: (3)
• Jenis dan virulensi kuman penyebab.
• Daya tahan tubuh penderita.
• Jenis dan posisi gigi sumber infeksi.
• Panjang akar gigi sumber infeksi terhadap perlekatan otot-otot.
• Adanya tissue space dan potential space.
2.3. Gejala dan tanda
Gejala utama abses gigi adalah nyeri pada gigi yang terinfeksi, yang
dapat berdenyut dan keras. Pada umumnya nyeri dengan tiba-tiba, dan secara
berangsur-angsur bertambah buruk dalam beberapa jam dan beberapa hari. Dapat
juga ditemukan nyeri menjalar sampai ketelinga, turun ke rahang dan leher pada
sisi gigi yang sakit.
Pembentukan abses ini melalui beberapa stadium dengan masing-masing stadium mempunyai gejala-gejala tersendiri, yaitu:
1. Stadium subperiostal dan periostal
•Pembengkakan belum terlihat jelas
•Warna mukosa masih normal
•Perkusi gigi yang terlibat terasa sakit yang sangat
•Palpasi sakit dengan konsistensi keras


2. Stadium serosa
•Abses sudah menembus periosteum dan masuk kedalam tinika serosa dari tulang dan pembengkakan sudah ada
•mukosa mengalami hiperemi dan merah
•Rasa sakit yang mendalam
•Palpasi sakit dan konsistensi keras, belum ada fluktuasi


3. Stadium sub mukous
•Pembengkakan jelas tampak
•Rasa sakit mulai berkurang
•Mukosa merah dan kadang-kadang terlihat terlihat pucat
•Perkusi pada gigi yang terlibat terasa sakit
•Palpasi sedikit sakit dan konsistensi lunak, sudah ada fluktuasi

4. Stadium subkutan
•Pembengkakan sudah sampai kebawah kulit
•Warna kulit ditepi pembengkakan merah, tapi tengahnya pucat
•Konsistensi sangat lunak seperti bisul yang mau pecah
•Turgor kencang, berkilat dan berfluktuasi tidak nyata









Gambar 1. Abses subkutan yang berasal dari infeksi gigi yang telah menyebar
(http://penyakitdalam.wordpress.com/2009/11/02/)
Gejala-gejala umum dari abses adalah:
• Gigi terasa sensitif kepada air dingin atau panas.
• Rasa pahit di dalam mulut.
• Nafas berbau busuk.
• Kelenjar leher bengkak.
• Bahagian rahang bengkak (sangat serius).
• Suhu badan meningkat tinggi dan kadang-kadang menggigil
• Denyut nadi cepat/takikardi
• Nafsu makan menurun sehingga tubuh menjadi lemas (malaise)
• Bila otot-otot perkunyahan terkena maka akan terjadi trismus
• Sukar tidur dan tidak mampu membersihkan mulut
• Pemeriksaan laboratorium terlihat adanya leukositosis




2.4. Dampak Abses Subkutan Odontogenik terhadap anak dan gigi permanen
Pada gigi depan, biasanya proses karies gigi dapat berhenti (Caries Arest), namun dapat juga melanjut. Karies pada gigi depan biasanya berwarna hitam dan .pada gigi belakang, karies gigi akan melanjut dan akan mengakibatkan kerusakan syaraf gigi. Kerusakan syaraf gigi pada mulanya akan mengakibatkan rasa sakit yang sangat, namun jika syaraf telah mati, gigi tidak akan terasa sakit sama sekali. (2)
Sudah bisa diduga dampak karies gigi ini bisa mengakibatkan nafsu makan anak berkurang (karena giginya sakit) atau yang paling parah bisa mengakibatkan abses (pembengkaan dan pernanahan) gusi di daerah akar gigi. Jika abses ini terjadi, maka anak akan menderita demam dan sakit gigi yang luar biasa. Di samping itu, abses ini dapat melanjut ke jaringan lunak sekitar mata ataupun di sekitar leher. Dampak lain adalah gangguan pada pertumbuhan calon gigi pengganti. Namun, jika karies ini ditangani dengan baik, seperti : dirawat saluran akarnya dan ditambal dengan baik, maka kondisi karies/gigis ini tidak akan mempengaruhi gigi asli (gigi permanen) yang akan tumbuh. (2)
Penyakit kulit yang umum ditemukan sebagai akibat transmisi mikroorganisme dari gigi adalah penyakit kulit dengan dasar reaksi alergi (urtikaria, ekzema), liken planus, alopesia areata, akne vulgaris, eritema multiforme eksudatif, dan dermatitis herpetiformis. Mikroorganisme rongga mulut dapat menyebabkan infeksi pada kulit melalui inokulasi langsung (gigitan) dan melalui pelepasan histamin dari mastosit serta pembentukan kompleks imun pasca ekstraksi gigi. (9)
2.5. Perawatan Abses Subkutan odontogenik

Adapun tahap penatalaksanaa abses odontogenik secara umum adalah: (9)
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan x-ray secara periapikal dan panoramik perlu dilakukan sebagai skrining awal untuk menentukan etiologi dan letak fokal infeksi.
Tes Serologi
Tes Serologi yang paling sering digunakan adalah tes fiksasi komplemen dan tes aglutinasi. Kedua tes ini digunakan untuk mengetahui etiologi.
Penatalaksanaan
Satu-satunya cara untuk menyembuhkan abses gigi adalah mengikuti
perawatan gigi dengan menggunakan prosedur perawatan abses gigi dalam beberapa kasus, pembedahan, atau kedua-duanya dimana terperinci di bawah ini: (4, 6)
Prosedur Dental
Langkah utama yang paling penting dalam penatalaksanaan abses gigi
adalah incisi abses, dan drainase nanah yang berisi bakteri.
Prosedur ini pada umumnya dilakukan apabila sudah di anaestesi lokal terlebih
dahulu, sehingga area yang sakit akan mati rasa.
Jika abses periapikal, abses akan dipindahkan melalui perawatan saluran akar untuk mengeluarkan abses dan membuang jaringan yang rusak dari pulpa. Kemudian ditumpat untuk mencegah infeksi peradangan lebih lanjut.
Jika abses periodontal, maka abses akan dikeluarkan, dan secara menyeluruh
membersihkan periodontal pocket. Kemudian melicinkan permukaan akar gigi dengan scaling dan marginal gingiva untuk membantu penyembuhan dan mencegah
infeksi/peradangan lebih lanjut
• Jika merupakan abses periapikal dan infeksi berulang, maka harus membuang jaringan yang rusak
• Jika abses periodontal dan infeksi berulang, maka perawatannya dengan memindahkan poket periodontal dan membentuk kembali jaringan gingiva.
• Dalam stadium periostal meningkat tinggi dan sub periostal dilakukan trepanasi untuk mengeluarkan abses dan gas gangren yang terbentuk, kemudian diberikan obat-obatan antibiotik, antiinflamasi, antipiretik, analgesik dan roboransia. Dengan cara ini diharapkan abses tidak meluas dan dapat sembuh.
• Dalam stadium serosa dianjurkan untuk kumur-kumur air garam hangat dan kompres hangat, supaya abses masuk ke arah rongga mulut.
• Dalam stadium submukosa dan subkutan dimana sudah terjadi fluktuasi maka dilakukan insisi dan dimasukkan kain gaas steril atau rubber-dam sebagai drainase, kemudian diberikan obat-obatan antibiotika, antiinflamasi, antipiretika, analgesika dan roboransia. Pencabutan gigi yang terlibat
(menjadi penyebab abses) biasanya dilakukan sesudah pembengkakan sembuh dan keadaan umum penderita membaik. Dalam keadaan abses yang akut tidak boleh dilakukan pencabutan gigi karena manipulasi ekstraksi yang dilakukan dapat menyebarkan radang sehingga mungkin terjadi osteomyelitis.
Tabel 1. Antibiotik yang digunakan pada perawatan abses odontogenik. (3)
Antimicrobials Adult Dosage Pediatric Dosage
Narrow-spectrum agents
Penicillin VK 250 – 500 mg q6h 50 mg /kg q8h
Amoxicillin 500 mg q8h 15 mg / kg q8h
Cephalexin£ 250 – 500 mg q6h 25 – 50 mg /kg /d q6-8h
Erythromycin β 250 mg q6h 10 mg / kg q16h
Azithromycin β€ 500 mg x 1d, then
250 or 500 mg q 24h 10 mg / kg / d x 1d, then 5 mg / kg / d q24h x 4d
Clarithromycin β 250 – 500 mg q12h or 1g PO q24h 15 mg / kg / d q12h
Doxycycline β βi 100 mg q12h 1 – 2 mg / kg q12h x 1d, then 1 – 2 mg / kg q 24h
Tetracycline β βi 250 mg q6h 12.5 – 25.0 mg / kg q12h
Broad-spectrum agents
Clindamycin β 150 – 300 mg q8h 10 mg / kg q8h
Amoxicillin / clavulanate 875 mg q12h 45 mg /kg q12h
Metronidazole plus 1 of the following: β 250 mg q6h or 500 mg q12h 7.5 mg / kg q6h or 15 mg / kg q12h
Penicillin VK 250 – 500 mg q6h 50 mg /kg
or Amoxicillin 500 mg q8h 15 mg /kg q8h
or Erythromycin β 250 mg q6h 10 mg / kg q8h
Pada tahap pencegahan terjadinya abses subkutan dan perawatan setelah terjadinya abses subkutan, maka dengan menggunakan obat-obatan (medikamen) dilakukan sebagai berikut: (7)
1.Pembengkakan gingiva dengan tanda peradangan di sekitar gigi yang sakit.
Penatalaksanaan:
- pasien dianjurkan berkumur dengan air hangat
- simptomatik : parasetamol (bila diperlukan) 250 mg 3 kali sehari
2. Jika jelas ada infeksi, dapat diberikan amoksisilin selama 5 hari ( 250 mg3 kali
sehari)
3. Bila ada indikasi, gigi harus dicabut setelah infeksi reda dan rujuk ke dokter
gigi.
2.6. Prognosis Abses Subkutan Odontogenik
Prognosis dari abses Odontogenik adalah baik terutama apabila diterapi dengan segera menggunakan antibiotika yang sesuai. Apabila menjadi bentuk kronik, akan lebih sukar diterapi dan menimbulkan komplikasi yang lebih buruk dan kemungkinan amputasi lebih besar. (6)












BAB III

KESIMPULAN


• Abses subkutan Odontogenik merupakan komplikasi dari abses dari gigi yang tidak maupun terlambat dirawat secara prosedur dental sehingga menyebar ke daerah subkutan yang dapat menimbulkan fistel pada permukaan kulit
• Etiologi dari abses odontogenik sendiri yaitu bakteri endogen terutama bakteri anaerob dan jaran ditemukan oleh karena bakteri aerob. Penyebaran bakteri ini karena abses periodontal maupun abses periapikal tetapi kebanyakan karena abses periapikal. Sedangkan penyebarannya dapat secara hematogen, limfogen maupun penyebarab secara langsung pada jaringan sekitar.
• Penyebaran abses odontogen menjadi abses subkutan sangat dipengaruhi oleh keadaan umum anak misalnya daya tahan tubuh anak dan virulensi dari bakteri
• Pencegahan terjadinya abses subkutan pada anak sangat perlu karena perluasan abses dapat menggangu kondisi dari gigi-gigi permanen yang akan erupsi
• Prinsip perawatan abses subkutan yaitu melakukan insisi pada abses kemudian dilakukan drainase, yang kemudian dilakukan pencabutan dari gigi yang menjadi penyebab primer abses
• Prognosis dari abses subkutan adalah baik








DAFTAR PUSTAKA


1. Infeksi odontogenik dan penjalarannya. Available from: http//www.
Littleaboutmyworld.com. Accesed at: 2009/07/29
2. Mencegah gigi demi masa depan anak anda. Available from: http://www.d-
artsdentist.com/home.php?page=services. Aceesed at: 2008/15/09
3. Infeksi Odontogen. Available from: http//:www.cilmiaty.blogspot.com/.
Accesed at: 2009/3/4
4. Dental Abses. Available from: http//:www.adi along .blog.friendster.com/2008/07/dental-abses .
5. Abses pada rongga mulut. Available from:http://www. ruangkesehatan.blog.com/2008/02/15/abses-pada-rongga-mulut-makalah/. Accesed at: 2008/02/15.
6. Dental Abscess. Available from: http://www. fcbarcelonadf.blog.friendster.com/2008/04/istimewanya-wanita-islam/. Accesed at: 2008/04
7. Abses gigi. Available from: http://penyakitdalam.wordpress.com/2009/11/02/
8. Penyakit Periodontal. Available from: http://medicallearn.blogspot.com/2009/02/abses-periodontal.html
9. Infeksi Dentoa Alveolar. Available from: http://littleaboutmyworld.wordpress.com/2009/07/29/infeksi-dentoalveolar/