Selasa, 22 Juni 2010

Penanganan Anaphilaxis

Protokol Penanganan Anaphilaksis
Robit Sharma, MDS, * Ramen Sinha, MDS,
P.S. Menon, MDS, FIBOMS, and Deepika Sirohi, MDS

Belum ada defenisi universal yang sesuai dari anaphilaxis atau kriteria untuk mengembangkan diagnosis, meskipun telah diketahui dalam bidang kedokteran emergensi lebih dari 100 tahun. Dua penemuan dirapatkan oleh Lembaga Jaringan Nasional Alergi dan Penyakit Infeksi dan Alergi Makanan dan Anaphilaksis pada april 2004 dan juli 2005. Representatif dari 16 organisiasi berbeda dan badan pemerintahan, yang termasuk representatif dari negara-negara berkembang, yang terus bekerja ke arah suatu defenisi yang diterima secara universal, kriteria diagnosis, dan penatalaksanaan anaphilaksis. Artikel ini menghadirkan konsep terakhir dari anaphilaksis di literatur yang termasuk penelitian yang dibutuhkan pada area ini.

Anaphilaxis digambarkan lebih dari 100 tahun yang lalu tetapi terus menerus menjadi salah satu kelainan yang paling mengkhawatirkan yang dihadapi di kedokteran, dengan belum ada kesesuaian atas defenisinya atau kriteria untuk diagnosis. Hal ini telah merintangi penelitian pada epidemiologinya, pathifisiologi, dan penatalaksanaan , dan pastinya membingungkan atas sebagian dari penanggap pertama, personil emergensi, pertolongan pertama, dan pasien, yang sama-sama menggagalkan diagnosa dan merawat anaphilaxis pada suatu cara yang konsisten. Pada suatu percobaan untuk kembali mengatasi masalah-masalah mengenai persoalan ini, artikel ini hadir dengan konsep baru dari defenisi dan penatalaksanaan anaphilaxis berdasarkan atas literatur terbaru pada bagian kedokteran emergensi.

DEFENISI
Istilah anaphilaxis diambil dari kata Greek a (against) dan philaxis (immunity, protection). Anaphilaxis adalah suatu immune-mediated tipe I, reaksi alerg sistemik parah yang mengancam hidup. Hal ini dimediasi oleh immunoglobin spesifik IgE, antigen menginduksi reaksi untuk allergen bervariasi yang menghasilkan degranulasi sel mast dan aktivasi basofil. Insiden anaphilaxis tidak diketahui tetapi diperkirakan terdapat 1:10.000 pada populasi luas per tahun dengan resiko yang meningkat pada wanita dari 3-10: 1
Reaksi anaphilactoid hadir dengan suatu gambaran klinis yang serupa yang melibatkan mediator-mediator yang sama tetapi tanpa keterlinbatan IgE. Variasi mekanisme yang bertanggung jawab adalah:
- Pembangkitan Kinin dengan aktivasi koagulasi atau fibrinolisis
- Aktivasi komplemen (seperti gelofusin)
- Modulasi metabolisme asam arakhidonik (eg. Aspirin)
- Meningkatnya histamin

ETIOLOGI
Reaksi Anaphilaxis (IgE) mungkin memiliki beberapa etiologi yang mengikuti:
- Makanan
- Obat-obatan
- Anastesi lokal yang terdiri dari methil-paraben
- Vaksin
- Bisa (venom)
- Ekstrak allergen
- Protein asing
- Parasit
- Getah
- Hormon, enzim
- Relaksan otot
- Gerak badan dan makanan pencetus

Reaksi Anaphilactoid (non-IgE) mungkin berasal dari beberapa hal yang mengikuti
- relaksan otot
- opoids
- media kontras radiologikal
- immunoglobulin
- aspirin dan obat-obat antiinflamasi non-steroid
- dextran dan gelatin

PATOFISIOLOGI
Ciri-ciri umum anaphilaxis adalah diawali oleh mekanisme imun (IGE) dan non-immun, dengan aktivasi sel-sel mast dan sirkulasi basofil dengan peningkatan pembentukan mediator-mediator. Pemaparan primer antigen menyebabkan sintesis antibodi spesifik IgE oleh limfosit dan sel-sel plasma. Bagian Fc dari antibodi ini mampu melekatkan dirinya masing-masing pada permukaan sel-sel plasma dan mensiklusikan basofil. Akibat pemaparan kembali dengan antigen menyebabkan IgE antibodi antigen saling mengikat menyilang dan memicu degranulasi. Pembentukan mediator-mediator seperti histamin, faktor kemotaksis, atau enzim disimpan pada granula sitoplasma meningkatkan respon pada perlekatan silang antigen-antibodi ini. Aksi ini dapat dikelompokkan dalam 3 kategori:
- Aktivator-aktivator inflamasi menginduksi vasodilatasi dan edema; misalnya: histamin, triptase dan bradikinin
- Spasmogen menyebabkan otot halus bronchil berkontraksi; termasuk histamin, prostaglandin D2 dan leukotrin (LTC4 dan LTD4). Prostaglandin D2 10 kali lebih potensi menyebabkan bronchokonstriktor dari pada histamin, dan LTD4 1.000 kali lebih berpotensi
- Faktor kemotaksis neutrofil dan eosinofil menarik sel-sel baru yang bervariasi pada area tersebut. Mereka meningkatkan mediator-mediator sekunder dari anphilaksis, seperti histamine-releasing factor, dan sejumlah enzim lisosom, yang menyebabkan inflamasi berlebihan dan destruksi sel. Degranulasi sel mast lebih lanjut diinduksi pada suatu siklus dari meningkatnya inflamasi dan meningkatnya permeabilitas jaringan, suatu kondisi sama pada sepsis sistemik.

TANDA TANDA KLINIS
Keberadaan mediator meningkat dengan suatu spektrum dari gejala-gejala klinis dan tanda-tanda dari bersin-bersin sampai jalan nafas yang mengancam hidup dan ancaman kardiovasekuler (anaphilaxis). Kelainan ini dapat berkembang melalui spektrum ini tanpa dua atau berkali-kali terpapar agen-agen pemicu.


1. Tanda-tanda pada Kulit
Gejala-gejala nyata mungkin termasuk pruritus, rash, dan perasaan geli pada tangan, kaki, dan aksila, ditemani dengan perasaan tenggelam karena hipotensi atau kurangnya darah perifer. Hal ini mungkin berkembang sampai urtikari atau angioedema atau edema periorbital.

2. Obstruksi Jalan nafas
Obstruksi jalan nafas dapat terjadi pada jalan nafas atas (akibat edema laring) dan jalan nafas bawah (akibat brokospasm dan edema pulmonary). Pasien mungkin hadir dengan stridor, hoarseness, perasaan fullness atau konstriksi throat, mendesah, batuk, sesak dada, dan pernafasan pendek.

3. Kolaps kardiovasekuler
Kolaps kardiovasekuler juga menyerang dengan cepat, dengan perasaan faintness dan rasa sakit pada retrosternal diikuti dengan syncope dikarenakan oleh vasodilatasi atau cardiac arritmia. Hipotensi disebabkan oleh kombinasi dari mediator yang menginduksi arrithmia, vasokonstriksi arteri koronary, menurunnya resistensi vaskuler sistemik, dan suatu hypovolemia relatif; dan di atas 50% volume sirkulasi dapat hilang dalam jaringan oleh meningkatnya secara mendadak permeabilitas jaringan. Infart myocardial juga telah dilaporkan.

4. Manifestasi Gastrointestinal
Anaphilaxis dapat menyebabkan kekejangan abdominal, mual, muntah yang banyak, dan diare. Durasi anaphilaxis dapat pendek, dua fase, atau dapat menjadi panjang sampai di atas 24 jam. Pada bifase terdapat pada 5% sampai 20% pasien, yang berkembang cepat mengancam hidup pada episode 8 sampai 12 jam setelah serangan pertama.




KRITERIA KLINIS UNTUK DIAGNOSA ANAPHILAXIS
Kemungkinan terjadinya anaphliaxis ketika satu dari 3 kriteria terpenuhi.
1. Serangan akut yang sakit (sekali sampai beberapa kali) tanpa keterlibatan kulit, jaringan mukosa, atau keduanya ( umumnya rasa gatal berbintik-bintik, pruritus atau flushing, bengkak pada bibir/lidah/uvula) dan sedikitnya diikuti:
a. Respiratory compromise ( dyspnea, wheezing, bronchospasme, stridor, berkurangnya aliran ekspirasi, hipoksemia)
b. Berkurangnya tekanan darah atau berhubungan gejala-gejala disfungsi organ (hipotoni, syncope, incontinence)
2. Dua atau lebih yang mengikuti terjadi secara cepat setelah terpapar alergen terhadap pasien (beberpa menit sampai beberapa jam):
a. Keterlibatan kulit/ jaringan mukosa (umumnya bintik-bintik merah, gatal-gatal/flush, pembengkakan bibir/lidah/uvula)
b. Respiratory compromise (dyspnea, wheezingbronchospasme, stridor, berkurangnya REF, hipoksemia)
c. Berkurangnya BP atau dihubungkan gejala-gejala (hipotonia, syncop, incontinence)
d. gejala-gejala gastrointestinal persisten ( memaksa, sakit perut, muntah)
3. Berkurangnya BP setelah terpapar alergen yang diketahui pada pasien (beberapa menit sampai beberapa jam)
a. Bayi dan anak-anak: BP sistolik rendah (umur spesifik) atau berkurang lebih besar dari 30% pada BP sistolik ( batas tekanan darah anak rendah jika kurang dari pada 70 mmHg dari 1 bulan sampai 1 tahun, kurang dari pada [ 70 mmhg + {2xumur}] dari 1 sampai 10 tahun, dan kurang dari pada 90 mmhg dari 11 sampai 17 tahun)
b. Dewasa: BP sistol kurang dari 90 mmHg atau berkurang lebih dari 30% dari batas normal seseorang.



Perbedaan diagnosis cardiac arritmia atau infarction, pulmonary embolisme, atau acute respiratory obstructionnkarena inhalasi dan serangan vasovagal.

PENATALAKSANAAN ANAPHILAXIS
Dasar dari bentuk alur basic life support terhadap penatalaksanaan awal anaphilaxis , dengan evaluasi cepat dan mempertahankan airway, breathing, dan circulation. Yang telah dirumuskan suatu diagnosis klinis dari anaphilaxis berdasarkan atas kehadiran dari beberapa 3 kriteria anaphilaxis di atas, pasien sebaiknya mendapatkan epinefrin secara seketika karena epineprin adalah perawatan pilihan pada anaphilaxis. Pada pasien dengan kriteria diagnosa klinis terkena dengan singkat anaphilaxis tetapi menghadirkan gejala-gejala, sebaiknya masih tetap diberikan terapi epinefrin, seperti pasien dengan riwayat mudah terjadi anaphilaxis fatal pada kacang-kacangan yang menelan kacang dan beberapa menit menampakkan adanya urtikaria dan flushing luas. Intervensi selanjutnya ditentukan atas dasar pelajaran klinis dan respon pada epinephrin . umumnya, partisipan pada The Second NationalIinstitute of Allergy and Infection Disease and Food Allergy and Anaphylacyic Network (NIAID/FAAN). Symposium anaphilaxis mendukung batas pendekatan terapeutik pada penerbitan petunjuk secara terbaru. Sebuah kesimpulan dari petunjuk ini disediakan di bawah, sepanjang dengan suatu diskusi yang lebih detail dari jalur rekomendasi dari epinephrin parentral, posisi selama perawatan anaphilaxis, dan pengaruh periode observasi setalah perawatan suatu episode anaphilaxis.

Epinephrin
Epinephrin adalah perawatan pilihan untuk anaphilaxis. Cairan epinephrin, 0,01 mg/kg (dosis maksimum, 0,5 mg) diberikan secara intramuskuler setiap 5 sampai 15 menit jika dibutuhkan, dosis yang direkomendaskan untuk mengontrol gejala dan mempertahankan tekanan darah. Interval 5 menit antara injeksi dapat diizinkan untuk membolehkan dilakukan injeksi dengan frekuensi lebih jika dianggap perlu oleh klinisi.

Antara Intramuskular dan subkutan epinephrin
Bermacam-macam studi dengan keterbatasan telah menunjukkan bioavailability epinephrin jika diberikan secara intramuskular dari pada secara subkutan. Jalur intravena telah direkomendasikan pada keadaan spesifik. Suatu penelitian pada anak-anak yang tidak memiliki pengalaman anaphilaxis mennunjukkan absobsi yang lebih cepat dan level epinephrin yang lebih tinggi pada plasma ketika epinephrin diberikan secara intramuskular pada bagian anterior-lateral paha dengan suatu autoinjektor ketika dibandingkan dengan nilai-nilai setelah pemberian secara subkutan. Dengan cara yang sama, pada orang dewasa tanpa pengalaman anaphilaxis, konsentrasi epinephrin dalam plasma sel dicapai lebih cepat dan lebih tinggi setelah diinjeksi epinephrin secara intramuskuler dalam paha dari pada setelah epinephrin diinjeksikan secara intramuskular atau subkutan dalam lengan atas (bahu). Hasil yang sama diperoleh dengan kedua ampul epinephrin atau dengan sebuah alat automatic epinephrin springladed (epipen, dey, napa, CA). Injeksi epinephrin secara intramuskuler dalam lengan atas atau secara subkutan diluar lengan atas tanpa hasil meningkatnya level epinephrin dalam plasma yang signifikan diluar level epineprin endogen. Hal ini sebaiknya dicatat bahwa penelitian dari jalur injeksi telah dilakukan pada pasien dengan pengalaman anaphilaxis. Atas dasar fakta-fakta ini, partisipan dari simposium NIAID/FAN menyimpulkan bahwa pemberian intramuskuler dari kemampuan injeksi epinephrin pada anterior-lateral paha lebih disukai injeksi subkutan. Walaupun dicatat dibawa, epinephrin intravena mungkin lebih disukai pada beberapa kasus jika garis intravena ditempatkan (selama bedah). Epinephrin intravena adalah suatu pilihan untuk pasien dengan hipotensi parah atau cardiac arrest yang tidak mampu merespon terhadap dosis intramuskular epinephrin dan resusitasi cairan. Meskipun tidak ada dosis tepat yang dikembangkankan atau cara untuk epinephrin intravena pada anaphilaxis, dosis 5 sampai 10 mg bolus intravena (0,2 mg) untuk hipotensi dan telah dianjurkan 0,1 sampai 0,5 mg diberikan secara intravena jika terdapat kolaps kardiovasekuler. Sebuah pusat percobaan tunggal terbaru ini menggambarkan keberhasilan penanganan awal dengan infus epinephrin intravena untuk anaphilaxis dengan hipotensi, yang menganjurkan bahwa hal ini mungkin menjadi suatu strategi yang dapat diteruskan. Prosedur yang terperinci untuk persiapan dan pelaksanaan dari infuse epinephrin telah dipublikasikan. Hal ini penting untuk diketahui potensi terjadinya arritmia letal ketika pemberian epinephrin intravena, dan selanjutnya direkomendasikan untuk monitoring jantung . Infus epinephrin dosis rendah yang terus menerus mungkin menunjukkan bentuk yang sangat aman dan paling efektif dari pemberian secara intravena karena dosisnya dapat ditentukan kadarnya sesuai efek yang diinginkan dan dapat menghindari potensi terjadinya kecelakaan dari bolis epinephrin yang luas. Oksigen dan agen adregenik (high-flow oxigen melalui suatu non- rebreather mask atau endotracheal tube) sebaiknya diberikan pada pasien-pasien dengan pengalaman gejala-gejala yang berhubungan dengan pernapasan atau hipoksemia. Dalam hal dengan hemodinamical yang tidak stabil mungkin dengan oksigen bermanfaat. Dengan B2-agonist inhalasi, seperti albuterol, mungkin berguna untuk bronchospasme yang sulit disembuhkan dengan epinephrin.

Posisi Pasien
Pasien dengan anaphilaxis shock (dengan anaphilaxis dan tanda-tanda hipoperfusi organ kritis) sebaiknya ditempatkan pada suatu posisi berbaring dengan ekstrimitas yang lebih rendah diangkat kecuali jika mengahalangi oleh pernapasan yang pendek atau muntah-muntah. Ini direkomendasikan berdasarkan atas bukti-bukti bahwa dengan mengangkat kaki pasif dapat meningkatkan volume stroke dan cardiac output dengan pergeseran udara secara terpusat pada pasien-pasien shock. Selanjutnya, observasi dari korban shock anaphilaxis fatal menganjurkan bahwa perubahan postural, seperti perubahan pada sebuah posisi yang lebih tegak atau dicegah dari posisi supinasi, mungkin telah mengkonstribusikan akibat yang fatal.

Resusitasi Fluid
Resusitasi cairan yang agresif direkomendasikan untuk pasien-pasien yang tetap hipotensi meskipun dengan epinephrin. Luas volume crystalloid mungkin dibutuhkan di 5 menit pertama sampai menit ke 10 pada reaksi yang parah dengan hipotensi, sampai di atas 35% volume darah mungkin extravasate pada 10 menit pertama, dan vasodilatasi dapat menyebabkan genangan, dengan akibat bertambahnya pengurangan volume darah yang efektif dan kemudian terjadinya shock. Volume cairan digantikan harus disesuaikan pada situasi klinis. Hipotensi yang persistensi membutuhkan suatu pendekatan yang lebih agresif dengan bolus cairan multipel (10 sampai 20 ml/kg di bawah tekanan), termasuk koloid sebaik crystaloid, mengingat, suatu reaksi pernapasan secara luas atau satu respon yang segera untuk perawatan awal membutuhkan penenganan cairan kurang agresif.

Vasopressor
Vasopressor poten seperti noradrenalin, vasopressin, atau metaraminol mungkin dibutuhkan untuk vasodilatasi yang berlebihan jika epinephrin dan resusitasi cairan telah gagal untuk mempertahankan tekanan darah sistolik yang lebih besar dari 90% mmHg. Laporan kasus terakhir ini dan penelitian pada binatang telah merekomendasikan bahwa vasopressin digunakan sepenuhnya ketika perawatan hemoraghe dan shock septik. Efek vasopressin atas anaphilaxis sistemik belum diteliti kecuali laporan kasus klinis. Vasopressin meningkatkan tekanan darah karena vasokonstriksi melalui reseptor V-1.

Antihistamin
Antihistamin (antagonis H1 dan H2) memiliki aksi lebih lambat dari pada epinephrin, memiliki efek kecil terhadap tekanan darah, dan sebaiknya dipertimbangkan sebagai perawan kedua untuk anaphilaxis. Antihistamin digunakan penuh untuk perawatan gejala urtikaria/ angioedema dan pruritus. Dypenhidramine, diberikan secara intravena atau intramuskuler (atau secara oral untuk gejala-gejala yang sedang), dapat diberikan 25 sampai 50 mg untuk dewasa dan 1 mg/kg (di atas 50 mg) untuk anak-anak. Perawatan dengan kombinasi antagonis Hi dan H2 telah dilaporkan lebih efektif pada pengurangan manifestasi kutaneus dari anaphilaxis dari pada perawatan dengan antagonis H1 sendiri. Ranitidine dan cimetidine telah sering diselidiki, tetapi tidak penelitian kontrol telah memberitahukan keunggulan dari salah satu antagonis H2 atas yang lainnya.

Kortikosteroid
Keefektifan kortioksteroid pada anaphilaxis belum pernah ditentukan pada percobaan placebo-kontrol. Walaupun, kegunaan kortikosteroid untuk penyakit alergi lain telah pasti untuk penggabungannya dalam penanganan anaphilaxis. Karena serangan aksinya lambat, steroid tidak digunakan penuh pada penanganan tingkat akut. Hal ini telah dianjurkan bahwa penggunaannya mungkin mencegah suatu pemanjangan atau biphasic reaksi, walaupun tidak ada bukti untuk membuktikannya. Jika diberikan, dosis kortikosteroid intravena sebaiknya sama dengan 1 sampai 2 mg/kg per dosis methilprodnisolon setiap 6 jam. Pemberian oral prednisone, 1mg/kg sampai 50 mg mungkin cukup untuk serangan yang sedang.

Glukagon untuk hipotensi persisten pada pasien pengguna B-Bloker
Walaupun belum ada penelitian epidemiologi yang memberitahukan meningkatnya frekuensi anaphilaxis pada pasien yang menerima B-Bloker, terdapat banyak laporan kasus dari meningkatnya keparahan atau refractory anaphilaxis pada beberapa pasien. Secara teori, terdapat mekanisme tersendiri oleh B-Blokade dapat mengurangi respon pada epinephrin. Jika pemberian epinephrin pada pasien tidak efektif, pemberian glukagon dapat dicobakan. Glukagon sedikit mengembalikan hipotensi refractory dan bronchospasme dengan aktivasi adenylate cyclase independen dari B-reseptor dan walaupun, kejadian dan pentingnya mekanisme ini dari aksi anaphilaxis belum dapat dibuktikan. Dosis yang direkomendasikan untuk glukagon adalah 1 sampai 5 mg (20 sampai 30 mg/kg [dosis maksimum, 1 mg] pada anak-anak) diberikan secara intravena selama 5 menit dan diikuti dengan infus (5 sampai 15 mg/menit) dengan kadar yang ditetapkan untuk respon klinis. Proteksi jalan nafas harus dijamin karena pemberian glukagon berkali-kali menyebabkan emesis.

OBSERVASI
Setelah perawatan reaksi anaphilaxis, semua pasien perlu untuk diobservasi karena reaksi mungkin timbul lagi sebagai efek pemakaian epinephrin (akibat epinephrin intramuskuler pada peningkatan level serum untuk 1 jam atau lebih) dan karena resiko dari suatu reaksi biphasic. Kejadian reaksi biphasic telah dikembangkan pada literatur dam muncul 1 % sampai 20% dari reaksi anaphlixis (tabel 1). Pada suatu penelitian yang ,mengevaluasi pasien dengan reaksi makanan yang fatal atau mendekati fatal, kira-kira 20% dari pasien dfengan penglaman suatu reaksi biphasic, yang menunjukkan bahwa reaksi biphasic kemungkinan besar terjadi pada pasien-pasien yang secara awal menunjukkan gejala-gejala yang parah. Interval waktu yang dilaporkan anatara reaksi awal dan serangan fase kedua berkisar dari 1 sampai 72 jam. Sayangnya, tidak ada prediktor klinis yang telah diidentifikasi untuk memungkinkan identifikasi pasien-pasien dengan resiko yang meningkat untuk suatu reaksi biphasic, walaupun beberapa penelitian telah menganjurkan bahwa pasien yang membutuhkan dosis epinephrin lebih tinggi untuk mengontrol gejala-gejala awal atau menunda pemberian epinephrin munkin meningkatkan resiko terjadinya reaksi biphasic. Secara umum, sistem organ sama terlibat pada reaksi pertama dan kedua. Berdasarkan atas bukti-bukti data, partisipan yang menghadiri simposium NIAID/FAAN merekomendasikan bahwa periode observasi dibedakan dengan yang lain berdarkan atas keparahan reaksi awal, hal yang dapat dipercaya dari pasien, dan akses untuk merawat. Lamanya waktu yang pantas untuk mempertimbangkan observasi pasien post anaphilaxis adalah 4 sampai 6 jam pada kebanyaka pasien, dengan waktu observasi yang panjang atau adanya izin dari rumah sakit untuk pasien-pasien dengan gejala-gejala parah atau susah disembuhkan. Beberapa peringatan sebaiknya digunakan pada pasien-pasien dengan penyakit reaktif jalan nafas karena kebanyakan terjadi kefatalan berhubungan dengan anaphilaxis yang terjadi pada pasien ini. Pemeriksaan dan penanganan pasien dengan pengalaman keterpaparan anaphilaxis yang mungkin ditemukan pada keadaan non-medis sebaiknya dilakukan injeksi epinephrin sendiri yang digunakan jika anaphilaxis berkembang. Berdasarkan catatan di atas, tidak ada defenisi umum yang dapat diterima tentang anaphilaxis. Maka, kriteria klinis diatas mungkin dapat membantu secara penuh untuk menentukannya yang sebaiknya dituliskan resep injeksi epinephrin. Hingga terdapat kriteria yang secara umum dapat diterima untuk diagnosa anaphilaxis, indikasi untuk peresepan epinephrin injeksi sendiri akan terus dipermasalahkan. Sekarang ini , belum ada persetujuan umum bahwa pasien yang dengan pengalaman gejala-gejala pernapasan dan kardiovasekuler setelah terpapar pada suatu alergen yang diketahui pada masyarakat sebaiknya menerima injeksi epinephrin tersendiri. Di luar persetujuan umum ini, hal ini belum jelas yang sebaiknya diberikan sebuah resep untuk bisa diinjeksi epnephrin. Walaupun, keterbatasan peresepan injeksi epinephrin untuk kriteria ini pada pasien-pasien dengan alergi kacang-kacangan atau bijia-bijian, sebaagai contoh, akan gagalnya untuk melindungi sampai 80% dari pasien dengan pengalaman suatu reaksi anaphilaxis yang fatal. Pasien yang diresepkan injekksi epinephrin sendiri sebaiknya telah merencanakan tindakan emergensi yang terperinci menggunakan egen ini dan penanganan follow-up. Kerumitan dari peresepan injeksi epinephrin sendiri dan penyediaan rencana tindakan emergensi telah digambarkan oleh Sicherer dan Simons., dan pilihan etika telah didiskusikan oleh Hu dkk. Sebelum pemberhentian dari fasilitas emergensi, semua pasien dengan pengalaman suatu reaksi anaphilaxis sebaiknya menerima informais tentang bagaiamana untuk menghindari dengan cepat alergen (jika diketahui). Persoalan lainnya untuk mempertimbangkan yang termasuk penyiagaan pasien tentang organisasi nasional yang menyediakan informasi penting dan bahan-bahan pendidikan (Food Allergy and Anaphilaxis Network, http://www.foodallegy.org), sebaik dinasehati untuk memperoleh saran follow-up dengan suatu alergi dan untuk memberitahukan perawatan fisik primer mereka. Sekarang ini, 3 tahap ini (peresepan injeksi epinephrin, edukasi pasien, evaluasi follow-up) jarang dilakukan di North American Emergency Departement. Karena departemen emergensi adalah keadaan perawatan untuk sebagian besar pengunjung anaphilaxis. Gambaran ini suatu kesempatan penting dan masih belum dipergunakan untuk meningkatkan perawatan pasien.

INVESTIGASI
Pemeriksaan dilakukan ketika pasien telah distabilkan. Tryptase sel mast adalah protein utama yang ditingkatkan oleh degranulasi sel-sel mast pada anaphilaxis dan reaksi anaphilactoid. Tingkat konsentrasi basal triptase adalah 0,8 sampai ng/ml. Separuh hidup kira-kira 2,5 jam. Kira-kira 99% dari enzim total tubuh terlokasi pada sel mast. Tryptase tidak terdapat pada basofil, sehingga konsentrasi tidak dipengaruhi oleh hemolisis. Segera mungkin setelah resusitasi, 10 ml dari bekuan darah terkumpul dan sekali lagi pada 1 jam dan pada 6 jam. Serum dipisahkan dan ditempatkan pada suhu 40C jika sampel dianalisis dalam waktu 48 jam atau ditempatkan pada suhu 200C untuk analisis yang lambat. Tingkat tryptase lebih besar dari pada 15 ng/mL menunjukkan suatu reaksi anaphilaxis.
Komplemen sebaiknya diukur ketika darah terkumpul, dari suatu sampel gel ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA) untuk menunjukkan tanda komsumsi komplemen.




FOLLOW-UP DAN PROGNOSIS
Ahli bedah/ dokter yang memberikan obat mampu merespon untuk jaminan bahwa reaksi dilaporkan. Pasien sebaiknya ditunjukkan ke immunologis untuk kemudian melakukan skin test. Pasien sebaiknya diberikan penjelasan penuh dan sebuah rekaman sebaiknya dibuat pada buku pembayaran pasien atau kartu kesehatan. Pasien sebaiknya diberikan sebuah rekaman tertulis dari reaksi. Penyembuhan kembali dari anaphilaxis biasanya cepat dan komplit. Lama masa sequelae cepat dan akibat dari kerusakan car5diac dan neurogical terjadi selama periode pertama.

PENELITIAN
Kesepakatan umum atas persoalan yang berhubungan pada anaphilxis telah dihalangi oleh kriteria diagnostik yang kuran diterima, tidak tanda-tanda biologi laboratorium yang dapat diterima, beberapa kelompok penelitian atas insiden dan akibat anaphilaxis di populasi yang bervariasi, bentuk efektif dari terapi, identifikasi pasien dengan resiko anaphilaxis yang dapat mengancan hidup, dan penjelasan dari dasar imunologi dan mekanisme patogenesis dapat merespon untuk variable pelajaran pada anphilaxis pada individu yang berbeda. Sebuah penelitian prospektif multisenter kriteria diagnosis anaphilaxis dikemukakkan disini untuk menentukan apakah kriteria ini menmbolehkan klinisi dan pemeriksa untuk mengidentifikasi pasien secara memadai dengan anaphialxis tanpa memperhatikan penyebabnya. Diumpamakan bahwa kriteria ini membuktikan untuk menjadi sensitif dan spesifik untuk diagnosa anaphilaxis, penelitian menentukan insiden, penyebab, tanda-tanda klinis , penyebab alami, dan akibat anaphilaxis diperlukan untuk mempersiapkan klinisi dengan bukti-bukti berdasarkan tanda-tanda dari kelainan ini yang akan memungkinkan pencegahan yang lebih efektif dan intervensi perawatan. Percobaan klinis dapat difasilitasi oleh bentuk dari suatu konsortium anaphilaxis. Hal ini dipercaya bahwa pengukuran mediator-mediator yang berasal dari mast sel, seperti histamin dan tryptase, akan menyediakan bukti-bukti dari reaksi anaphilaxis. Walaupun, pada rangkaian dari 97 pasien yang hadir pada suatu departemen emergensi dan terdiagnosa anaphilaxis, Cuma 42% ditemukan pada peningkatan level histamin plasma, dan 21% diputuskan mengalami peningkatan level triptase plasma. Satu penelitian kecil menjelaskan bahwa perkiraan berkala tingkat plasma tryptase mungkin meningkatkan sensifitas (36% sampai 73%). Sensitifitas dan spesifitas tanda biologi dari anaphilaxis dan pengembangan anaphilaxis diperlukan yang akan membuktikan keberadaan dari kelainan ketika cukupnya informasi riwayat tidak tersedia atau ketika gejala-gejalanya tidak khas. Pendekatan proteomic yang terbaru, pendekatan metabolisme, atau keduanya mungkin menjamin digunakan secara penuh pada identifikasi tanda-tanda biologi yang relevan. Pengukjian Biomarker dapat digunakan secara penuh untuk menentukan diagnosa ketika pada keragu-raguan, yang dapat menjadi penting dengan maksud untuk follow-up. Jika tersedia pada sisi lain, pengujian ini rata-rata dapat membantu pada identifikasi pasien yang beresiko persisten dan fase reaksi yang tertunda. Walaupun, diberikan emergensi dan fulminant alami dari kelainan ini, seperti pendekatan yang tidak mungkin digunakan secara penuh untuk pemanduan intervensi resusitasi dengan segera. Percobaan laboratorium dapat difasilitasi dengan bentuk suatu registrasi anaphilaxis dengan menutup kerjasama antara perbedaan utama dan menguraikan bidang ilmu. Sebagai garis luar dari simposium yang disebutkan sebelumnya, paling banyak reaksi anphilaxis disebabkan oleh reaksi hipersensitif yang mediasi oleh IgE akibat dari cross-lingking dari alergen spesifik molekul IgE diatas permukaan jaringan sel-sel mast dan mungkin basofil. Walaupun, mekanisme ini sendiri tidak menjelaskan keparahan dari manifestasi alergi, variasi respon organ target sejumlah individu atau dalam individu yang sama, perbedaan permulaan allergen perlu untuk membuktikan respon anphilaxis, variabel respon pada terapi, induksi biphasic atau memanjangya reaksi anphilaxis, atau akibat akhir dari reaksi. Penelitian baru-baru ini, pengenalan epitope dari alergen IgE mungkin memainkan suatu peran pada keparahan respon alergi. Tetapi ini menunjukkan suatu fraksi variabel-variabel yang potensi terjadi anatara waktu masuknya alergen pada tubuh dan hasil akhir dari suatu reaksi anaphilaxis. Sebagai contoh, ini mungkin menjadi informasi untuk melakukan genomic dan penelitian fungsional dari polimorfis atau tambahan fungsi mutasi pada mediator yang bervariasi, sitokin, dan reseptor chemokine dan kelompok reseptor dan elemen-elemen dari jalur signal intraseluler dan atau dari faktor lain yang mungkin mempengaruhi aktivasi atau fungsi sel-sel efektor dari anaphilaxis atau respon dari sel-sel struktural pada organ target yang terserang di kelainan ini. Sebagai tambahan, penyelidikan dibutuhkan dalam mekanisme pathophisiologi dan perawatan yang tepat dari reaksi-reaksi yang memenuhi daftar kriteria diagnostik untuk anaphilaxis tetapi yang tidak melibatkan sebuah mekanisme IgE, secara umum menunjukkan pada sebuah anaphilactoid atau reaksi pseudoallergic. Selanjutnya, penelitian telah menunjukkan suatu peran untuk sistem saraf yang menimbulkan gejala-gejala kompleks dari anaphilaxis. Dan ini adalah suatu area yang menjamin penyelidikan lebih lanjut. Yang dikarakteristikkan dengan baik dengan binatang yang secara jelas memudahkan usaha untuk mengerti dasar mekanisme patofisiologi yang terjadi selama anaphilaxis dan untuk menentukan interaksi antara beberapa tipe sel yang bervariasi; untuk menguraikan efek dari mediator, sitokin, dan kemotaksis yang berhubungan selama respon anaphilaxis dan untuk menggambarkan strategi terapeutik yang lebih baik. Baru-baru ini, model binatang yang muncul menjadi refleksi dari anafliaxis pada subjek manusia telah dikembangkan pada tikus, anjing, babi, tetapi model yang lebih baik diperlukan. Selama simposium NIAID/ FAAN dan pada parameter pelatihan yang diterbitkan baru-baru ini atas anaphilaxis, strategi terapoetik untuk penanganan anaphilaxis ditentukan secara luas atas dasar pengalaman klinis. Pada kenyataannnya terdapat suatu kebutuhan utama untuk mengevaluasi terapeutik paling sesuai untuk mengukur dan medikasi untuk perawatan anaphilaxis. Meskipun hampir semua para ahli setuju bahwa epinephrin obat pilihan untuk perawatan anaphilaxis akut, dengan data yang terbatas atas dosis yang sesuai, waktu pemilihan, jalan pemberian, frekuensi atau pemberian. Anthistamin H1 dan H2, corticosteroid, atau keduanya secara umumdigunakan pada perawatan anaphilaxis, tetapi hampir tidak ada data tersedia yang yang memberitahukan peran fungsional atau efektivitas agen ini. Percobaan kontrol prospectif untuk mengembangkan pemberian dosis yang sesuai dari medikasi ini dan peran dari intervensi terapeutik lain, seperti tipe optimal dan pemberian kembali cairan, dan penggunaan vasopresson, glukagon, nebulized albuterol atau epinephrin, leukotrin inhibitor, dan antagonis sitokin (anti-tumor necrosis factor) juga dijamin. Secara idela, ukuran terapeutik dapat dipelajari pada model binatang yang sesuai sebelum memulai percobaan klinis, sebelum beberapa penelitian klinis diselenggaraka, secara klinis penggunaan nilai skor keparahan dan hasil pengukuran alat-alat perlu untuk divalidasi. Juga terdapat sesuatu yang dibutuhkan untuk hasil penelitian pada pasien dengan karakteristik yang baik. informasi kecil yang tersedia atas keuntungkgan dan resiko atau penyediaan autoinjektor epinephrin, antihistamin, kortikosteroid, dan penulisan instruksi pengobatan pada pasien dengan alergi makanan dan sengitan serangga dan pemberi perawatan mereka (orang tua dan sekolah, perawatan harian, dan personil restoran ) dan personil emergensi pertama. Penelitian masa panjang, ketaatan pemberian follow-up, reaksi berikutnya, dan kualitas hidup dari pasien dengan pengalaman reaksi anaphilaxis yang juga berkurang. Sebagai hasil data yang tersedia, evaluasi rata-rata efektivitas dari penyebaran informasi tentang pencegahan dan penatalaksanaan anaphilaxis pada pasien, perawatan awal, perespon pertama, dan personil departemen emergensi sebaiknya membantu mengurangi perbedaan yang hebat pada pandangan terhadap pendekatan perawatan di United State dan sekitar dunia. Sejumlah penelitian dari sekitar dunia mengusulkan bahwa reaksi anaphilaxis secara umum terjadi di dalam dan diluar lingkungan rumah sakit. Pada keterangan dari peningkatan secara luas pada IgE- tergantung kelainan alergi pada negara berkembang beberapa dekade yang lalu, terdapat sesuatu yang penting untuk mengerti dengan baik dasar immunologi dan patofisiologi anaphilaxis dan untuk mengoptimalkan terapi atas dasar percobaan klinis yang terkontrol dengan baik. kemudian, karakteristik tanda-tanda klinis dan penemuan tanda-tanda biologi yang akan mengidentifikasi pasien dengan resiko anphilaxis atau biphasic atau memanjangnya keparahan reaksi sebaiknya meningkatkan secara lebih baik perawatan pada pasien ini, menurunnya pasien dan kecemasan keluarga, dan berkurangnya resiko dari hasil yang tidak menguntungkan. Penerimaan secar luas dai kriteria klinis spesifik untuk mengidentifikasi anaphilaxis, dengan maksud ini, akan memfasilitasi dan mempercepat penelitian pada area kriteria ini.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar